Tulisan ini tidak hendak mengulas
tentang Bandara Soetta di Cengkareng meski judulnya mengarahkan kita ke sana. Sebenarnya
ini hanya mengisi waktu di ruang tunggu bandara menuju kampung halaman
menghadiri pernikahan adik saya yang paling bungsu. Teringat topik demokrasi
dan pemilu setelah mendapat kabar bahwa ada calon legislatif yang bermaksud
memasang baliho kampanye di pekarangan rumah. Calon legislatif yang namanya agak
terkenal namun baru merasa memerlukan kami menjelang pemilu 2014.
Banyak kalangan yang menilai
bahwa pemilu 2014 adalah momentum tepat sekaligus vital bagi konsolidasi
demokrasi Indonesia. Konsolidasi tersebut sekaligus mengakhiri proses panjang
transisi demokrasi dari otoriatianism orde baru. Lebih dari satu dekade, bangsa
ini masih seakan bereksperimen untuk menemukan formula tepat bagi model
demokrasinya. Implikasi penerapannya akhirnya hanya sampai pada demokrasi
prosedural yang secara teknis berusaha mendapat partisipasi warga pada
hari-hari pemilihan.
Demokrasi prosedural tersebut secara
langsung melahirkan kejenuhan pada masyarakat pemilih. Setelah melewati
beberapa momentum pemilihan umum, rakyat akhirnya merasa bahwa tidak ada yang bermanfaat
dari partisipasi yang mereka berikan. Kejenuhan itu, menurut catatan Komite
Pemilih Indonesia menurunkan partispasi pemilih 10% setiap lima tahunan. Jika trend
penurunan partisipasi tersebut mengikuti garis fungsi linear, maka secara
teoritis pada tahun 2014 mendatang, partisipasi pemilih tidak akan lebih dari 60%.
Semakin tergesernya demokrasi
substansial oleh prosedur mekanistik setidaknya disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, Pilkada dan kontestasi politik
lokal yang melahirkan perselingkuhan antara pengusaha dan politisi. Akibatnya
masyarakat terbuai dengan hasil perselingkuhan tersebut berupa money politics, intrik dan sebagainya. Kedua, Partai politik sebagai pilar
demokrasi beserta elitnya berkontribusi
besar terhadap semakin jauhnya kontestasi pemilihan umum dari substansi
demokrasi. Sentuhan dan perjumpaan partai politik dengan konstituen hanya
terbangun menjelang pemilu. Ketiga,
Budaya instan dan mental dalam diri masyarakat indonesia. Sifat manja tersebut
melahirkan apatisme terhadap proses demokrasi dimana mereka seharusnya ada dan
terlibat aktif.
Dari fenomena diatas, masyarakat akhirnya
merasa telah ‘dibayar lunas’. Sehingga konsespsi demokrasi dianggap semata-mata
pemilihan umum yang memilih kandidat tertentu pada hari pemilihan. Belum ada
kepedulian kolektif untuk merasa menjadi bagian dari demokrasi tersebut
sepanjang 5 tahun berjalan. Pengalaman pemilu, pilkada dan bahkan pilkades pasca
reformasi tersebut membuat pemilihan umum benar – benar menjadi sangat hambar. Jika demikian faktanya, maka konsolidasi
demokrasi yang kita harapkan terjadi pada tahun 2014 sulit terwujud.
Dalam kacamata positifis, sesungguhnya
masih cukup waktu untuk membenahi paradigma sekaligus menghasilkan kualitas
pemilu 2014 yang menyentuh demokrasi substansial. Untuk mengejar target
tersebut, seluruh komponen bangsa perlu mengambil peran aktif di dalamnya.
Selain penyelenggara dan partai politik beserta elitnya, sangat penting rasanya
keterlibatan kelompok masyarakat sipil untuk melakukan pencerdasan bagi
pemilih. Ada dua momentum penting dalam mengawal terselenggaranya demokrasi
subtantif dan menghindari trend politik seperti diuraikan diatas. Yang pertama
adalah tahun 2013 menjelang pemilu atau tahun 2014 pada saat pemilihan umum, dan
yang kedua pacsa pemilu dengan cara aktif mendampingi masyarakat mengawal
pemerintahan hasil pemilu.
Mengawal poses pemilu 2013-2014
adalah berusaha memastikan bahwa masyarakat dengan latar belakang pendidikan
yang rendah sekalipun mampu menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab. Secara
praktis indikatornya dapat dilihat dengan meningkatnya partisipasi pemilih.
Indikator lain misalnya pilihan masyarakat yang mengedepankan kualitas dan
kapabilitas kontestan. Sementara itu, pasca pemilihan umum, masyarakat tetap
harus punya akses terhadap pemimpinnya untuk menyampaikan kepentingannya
termasuk mengingatkan setiap kebijakan yang keliru. Akses dan kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan tersebut adalah sepanjang masa pemerintahan.