Thursday, July 11, 2013

Catatan Di Cengkareng




Tulisan ini tidak hendak mengulas tentang Bandara Soetta di Cengkareng meski judulnya mengarahkan kita ke sana. Sebenarnya ini hanya mengisi waktu di ruang tunggu bandara menuju kampung halaman menghadiri pernikahan adik saya yang paling bungsu. Teringat topik demokrasi dan pemilu setelah mendapat kabar bahwa ada calon legislatif yang bermaksud memasang baliho kampanye di pekarangan rumah. Calon legislatif yang namanya agak terkenal namun baru merasa memerlukan kami menjelang pemilu 2014.
Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilu 2014 adalah momentum tepat sekaligus vital bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. Konsolidasi tersebut sekaligus mengakhiri proses panjang transisi demokrasi dari otoriatianism orde baru. Lebih dari satu dekade, bangsa ini masih seakan bereksperimen untuk menemukan formula tepat bagi model demokrasinya. Implikasi penerapannya akhirnya hanya sampai pada demokrasi prosedural yang secara teknis berusaha mendapat partisipasi warga pada hari-hari pemilihan.
Demokrasi prosedural tersebut secara langsung melahirkan kejenuhan pada masyarakat pemilih. Setelah melewati beberapa momentum pemilihan umum, rakyat akhirnya merasa bahwa tidak ada yang bermanfaat dari partisipasi yang mereka berikan. Kejenuhan itu, menurut catatan Komite Pemilih Indonesia menurunkan partispasi pemilih 10% setiap lima tahunan. Jika trend penurunan partisipasi tersebut mengikuti garis fungsi linear, maka secara teoritis pada tahun 2014 mendatang, partisipasi pemilih tidak akan lebih dari 60%.
Semakin tergesernya demokrasi substansial oleh prosedur mekanistik setidaknya disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, Pilkada dan kontestasi politik lokal yang melahirkan perselingkuhan antara pengusaha dan politisi. Akibatnya masyarakat terbuai dengan hasil perselingkuhan tersebut berupa money politics, intrik dan sebagainya. Kedua, Partai politik sebagai pilar demokrasi  beserta elitnya berkontribusi besar terhadap semakin jauhnya kontestasi pemilihan umum dari substansi demokrasi. Sentuhan dan perjumpaan partai politik dengan konstituen hanya terbangun menjelang pemilu. Ketiga, Budaya instan dan mental dalam diri masyarakat indonesia. Sifat manja tersebut melahirkan apatisme terhadap proses demokrasi dimana mereka seharusnya ada dan terlibat aktif.
Dari fenomena diatas, masyarakat akhirnya merasa telah ‘dibayar lunas’. Sehingga konsespsi demokrasi dianggap semata-mata pemilihan umum yang memilih kandidat tertentu pada hari pemilihan. Belum ada kepedulian kolektif untuk merasa menjadi bagian dari demokrasi tersebut sepanjang 5 tahun berjalan. Pengalaman pemilu, pilkada dan bahkan pilkades pasca reformasi tersebut membuat pemilihan umum benar – benar menjadi sangat hambar.  Jika demikian faktanya, maka konsolidasi demokrasi yang kita harapkan terjadi pada tahun 2014 sulit terwujud.
Dalam kacamata positifis, sesungguhnya masih cukup waktu untuk membenahi paradigma sekaligus menghasilkan kualitas pemilu 2014 yang menyentuh demokrasi substansial. Untuk mengejar target tersebut, seluruh komponen bangsa perlu mengambil peran aktif di dalamnya. Selain penyelenggara dan partai politik beserta elitnya, sangat penting rasanya keterlibatan kelompok masyarakat sipil untuk melakukan pencerdasan bagi pemilih. Ada dua momentum penting dalam mengawal terselenggaranya demokrasi subtantif dan menghindari trend politik seperti diuraikan diatas. Yang pertama adalah tahun 2013 menjelang pemilu atau tahun 2014 pada saat pemilihan umum, dan yang kedua pacsa pemilu dengan cara aktif mendampingi masyarakat mengawal pemerintahan hasil pemilu.  
Mengawal poses pemilu 2013-2014 adalah berusaha memastikan bahwa masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang rendah sekalipun mampu menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab. Secara praktis indikatornya dapat dilihat dengan meningkatnya partisipasi pemilih. Indikator lain misalnya pilihan masyarakat yang mengedepankan kualitas dan kapabilitas kontestan. Sementara itu, pasca pemilihan umum, masyarakat tetap harus punya akses terhadap pemimpinnya untuk menyampaikan kepentingannya termasuk mengingatkan setiap kebijakan yang keliru. Akses dan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan tersebut adalah sepanjang masa pemerintahan.