Catatan ini saya sampaikan dalam sebuah diskusi mahasiswa di Galery Cafe, Cikini Jakarta Pusat akhir Januari 2014. Banyak opini yang muncul dalam diskusi tersebut tetapi pada intinya semua sepakat bahwa Pemilu 2014 merupakan pertaruhan masa depan demokrasi kita. Sehingga seluruh komponen bangsa harus bersama-sama mengambil peran positif dan signifikan bagi terselenggaranya pemilu yang berkualitas.
I
Pemilihan umum tahun 2014 sebentar lagi akan
digelar. Meski tahapannya sudah dimulai sejak lebih dari setahun lalu namun
masyarakat lebih mengenal pemilu sebagai hari pencoblosan. Memang tidak ada
salahnya kita mengasosiasikan pemilu dengan hari dimana kita memberikan suara.
Namun bukan berarti kita melupakan proses dan tahapan pemilu secara lengkap.
Pemilu 2014 merupakan pertaruhan bangsa Indonesia
dalam fase transisi menuju negara demokratis yang dewasa. setelah mereformasi
sistem politik pasca reformasi 1998, Indonesia sudah tiga kali melaksanakan
pemilu “demokratis” untuk memilih pemimpinnya dalam 15 tahun terakhir. Belum
lagi ratusan pilkada yang sudah digelar oleh rejim Pemilu yang sama yakni
Komisi Pemilihan Umum. Dengan demikian setidaknya kita seharusnya punya
pengalaman cukup untuk itu. Untuk melihat masa depan demokrasi kita dalam
perspektif pemilu, maka perlu untuk berefleksi terhadap proses pemilu-pemilu
sebelumnya. Alih-alih secara serius mereformasi diri, para pelaku politik di
negara ini semakin menikmati penderitaan rakyatnya. Para anggota DPR misalnya
yang terlibat kasus korupsi bahkan tidak produktif dalam 5 tahun dengan percaya
diri kembali mencalonkan dirinya. Elit bangsa telah kehilangan keteladanan
serta budaya malu.
Tanpa bermaksud mereduksi prestasi yang sudah
dicapai, setidaknya ada 5 hal yang menjadi catatan penting saya dari perjalanan
demokrasi kita melaksanakan pemilu sejak 1999 - 2013:
1. Belum
ada desain jangka panjang tentang sistem politik kepartaian kita. Setiap
menjelang pemilu, para politisi di DPR sibuk dengan revisi UU pemilu untuk
kepentingan jangka pendek. Sama sekali tidak ada visi kolektif dari lembaga DPR
tentang format ideal kepartaian di negara yang majemuk ini.
2. Tingkat
partisipasi masyarakat yang semakin menurun. Menurut
Catatan KPU sendiri, pada tahun 1999 tingkat partisipasi dalam Pemilu tercatat
93 persen. Selanjutnya pada tahun 2004 menurun menjadi 84,1 persen dan akhirnya
pada tahun 2009 hanya 71,1 persen. kalau tren ini berlanjut maka bukan tidak
mungkin tingkat partispiasi pemilu 2014 tinggal 50% - 60%. Fenomena ini
akibat psikologi sosial masyarakat yang semakin jenuh mendatangani tempat
pemungutan suara sementara tidak ada perubahan substansial yang mereka alami.
Dalam catatan beberapa LSM dalam 5 tahun
masyarakat setidaknya harus ke TPS sebanyak 9 kali untuk memberikan
suaranya.
3. Sistem
yang demokratis belum melahirkan pemimpin dengan kualitas integritas dan
kapasitas yang baik. Dalam 3 Pemilu terakhir dan ratusan pilkada lainnya yang
dianggap antithesis dari otoritarianisme orde baru ternyata tidak berbanding
lurus dengan tokoh yang dihasilkan. Pejabat-pejabat korup yang banyak di media
juga bahkan sebagian tidak ada kaitan sama sekali dengan pemerintahan orde
baru. Mahalnya demokrasi membuat para peserta (bahkan penyelenggara pemilu)
harus menggadaikan integritasnya. Masyarakat pun terseret dalam pusaran
mematikan tersebut.
4. Pemilu
berikut Pilkada melahirkan budaya pragmatism baru yang cenderung negative di
masyarakat. Masyarakat semakin mengkapitalisasi kualitas electoral vote-nya dengan ukuran-ukuran materi tertentu. Realitas
ini melahirkan relasi sosial yang cenderung segregatif dan rawan konflik.
Korupsi, kerusakan lingkungan, dan rendahnya kualitas pemimpin lahir dari
proses ini. Karena pragmatism tersebut akhirnya perang suku di Papua misalnya juga
bertransformasi dari kebiasaan alami masyarakat menjadi desain elit untuk
kekuasaan.
5. Masyarakat
kehilangan kepercayaan terhadap partai politik sebagai instrumen demokrasi.
Partai politik yang harusnya menjadi lembaga penyalur aspirasi politik
masyarakat berada pada ruang dan dimensi yang seolah – olah terpisah dengan
masyarakat pemilih. Sebuah hasil survey yang dimuat tribunnews.com pada awal
Januari 2014 menunjukkan bahwa hanya 9% masyarakat pemilih yang percaya
terhadap Partai Politik.
II
Berangkat dari prestasi
dan catatan kritis terhadap pemilu sebelumnya, maka seharusnya pemilu 2014
menjadi ajang penyempurnaan proses Pemilu yang demokratis dalam konteks negara
majemuk seperti Indonesia. Dalam konteks ini, partai partai politik
seharusnya secara transparan menunjukkan
akuntabilitasnya dalam seluruh tahapan pemilu mulai dari rekrutmen hingga kompetisi
Pemilu. Beberapa tahapan ke depan yang akan kita lewati merupakan kesempatan
bagi partai politik untuk memperbaiki citra dirinya sebagai peserta pemilu yang
bertanggungjawab. Menunjukkan keteladanan moral lewat orang-orangnya serta
mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Dalam studi sederhana
yang dilakukan oleh beberapa cabang GMKI, maka kedepan kita masih mengalami
masalah serius untuk melaksanakan Pemilu secara berkualitas:
Pertama,
KPU sebagai penyelenggara belum maksimal mempersiapkan teknis penyelenggaraan
pemilu. Hal ini ditandai dengan masih ditemuinya pemilih Ganda, sudah meninggal
dunia maupun fiktif dalam DPT. Kualitas demokrasi juga dipertaruhkan dengan
masalah distribusi logistik bahkan sistem noken di Papua yang dipahami secara
keliru oleh KPU sebagai penyelenggara. Belum ditetapkannya beberapa komisioner
KPU di daerah juga menjadi tanda awas bagi pelaksanaan pemilu ke depan.
Kedua,
Masyarakat pemilih sebagai kunci sukses terselenggaranya Pemilu yang
berkualitas belum menjadikan Pemilu sebagai agenda pentingnya di tahun 2014. Di
beberapa tempat terutama di daerah
terpencil dan terdepan masyarakat tidak begitu peduli akan hak pilihnya
dan tanggal pemilihan. Persepsi
masyarakat tentang kontestasi pemilihan umum yang berkaitan dengan materi juga
masih membayangi dan menjadi pintu masuk bagi praktek politik uang.
Ketiga,
Aparatur negara baik pusat maupun di daerah sebagai personifikasi negara belum
mempunyai kesamaan gerak dengan KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Di beberapa
tempat misalnya pemerintah daerah harus mendapatkan anggaran untuk melakukan
verifikasi terhadap Daftar Pemilih. Aparat keamanan juga masih memandang proses
pemilu dalam perspektif proyek pengamanan. Padahal negara sudah membiayai
mereka untuk tugas pengamanan dalam situasi apapun termasuk Pemilu. Pemerintah
berkuasa juga sebenarnya sangat rawan kedepan untuk memanfaatkan kisruh DPT
untuk memanipulasi hasil Pemilu.
Keempat,
peserta pemilu bagi Partai Politik, Caleg, Capres maupun Cawapres sangat rentan
untuk mencari celah aturan dalam melakukan kecurangan Pemilu. Kecurangan itu
bisa dilakukan baik pada tahap kampanye, hari pemilihan bahkan saat
penghitungan/rekapitulasi suara. Praktek Politik uang yang hingga kini tidak
terdefenisi secara jelas selalui dimulai dari itikad buruk yang ada dalam diri
peserta pemilu.
III
Dalam kurun waktu 70
hari ke depan seluruh stakeholder pemilu harus mereformasi dirinya secara
cepat. Waktu yang tersisa memang tidak bisa merubah budaya kerja tetapi ada
beberapa hal substansial yang bisa dilakukan. Selain itu, ada pekerjaan teknis
yang bisa diakselerasi sehingga target capaian kualitatif dari Pemilu 2014 ini
bisa tercapai. Jika bercermin dari catatan korektif terhadap proses demokrasi
kita pasca reformasi diatas maka ada empat sector yang harus merubah citra dan
paradigmanya tentang pemilu yakni penyelenggara, peserta, aparatur negara
(Pemerintah dan TNI/Polri) dan masyarakat pemilih.
KPU dan rejim pemilu
lainnya masih mempunyai kesempatan untuk melakukan akselerasi dan memperbaiki
akuntabilitas kinerjanya. Mereka harus merubah paradigm dari sekedar
menyelenggarakan atau menaikkan tingkat
partisipasi pemilih namun juga harus memastikan bahwa peserta pemilu berkompetisi
secara benar dan masyarakat menggunakan haknya secara objektif. Kekosongan
aturan serta ketegasan menegakkannya menjadi tugas penyelenggara lainnya dalam
waktu yang singkat ini. tentu saja
melibatkan kelompok masyarakat sipil
menjadi keharusan. Salah satu momok yang paling mengancam kualitas demokrasi
kita adalah politik uang. Perlu keberanian untuk menembus kekosongan dan
penegakan aturan untuk praktek politik uang itu.
Dibutuhkan komitmen jelas dari peserta pemilu untuk
menjalani pemilu secara benar dan bertanggungjawab. Pada level yang lebih
tinggi, peserta pemilu perlu membangun komitmen atau pakta integritas untuk
selama 5 tahun jika terpilih akan mengemban amanat rakyat. Dalam kerangka
desain pemilu yang baik, Anggota DPR hasil pemilu juga harus memiliki kemauan
politik secara kolektif untuk menyusun format pemilu jangka panjang yang tidak
berbasis kepentingan sesaat. Tentunya semua itu dikerjakan dalam niat yang sama
untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institutsi partai politik
sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
Ada paradigm anggaran dalam perspektif aparatur
negara yang harus dirubah dalam memandang pemilu sebagai pesta demokrasi
rakyat. Misalnya pelibatan aparatur negara dalam melakukan verifikasi
kependudukan haruslah dipandang sebagai tanggungjawabnya untuk memastikan
jumlah penduduk di wilayah kerjanya. Oleh karena itu, negara sudah membayar
gaji bulanannya untuk melakukan tugas tersebut. Demikian juga dengan aparat
keamanan. Dengan ataupun tanpa Pemilu, negara membayar biaya hidup mereka untuk
mengamankan negara dan rakyatnya
Masyarakat pemilih memegang peranan penting
terselenggaranya pemilu berkualitas. Mereka harus mengenali calon wakilnya
secara baik dan objektif. Mereka juga harus mengawasi tidak saja saat wakilnya
menjadi calon tetapi juga saat mereka sudah terpilih. Tidak kalah pentingnya
harus ada kesadaran kolektif dari masyarakat untuk hadir di TPS menggunakan hak
pilihnya pada hari pemilihan. Paradigma terhadap pemilu yang berkaitan dengan
materi harus dirubah sebagai sebuah proses melahirkan pemimpin yang berhutang pada
rakyat. Dengan demikian, mampu menekan praktek politik uang.
IV
Setelah melihat berbagai dinamika diatas, mahasiswa
dituntut untuk menempatkan dirinya pada porsi yang tepat untuk kemajuan bangsa
dan negara. Ada banyak pilihan sikap mulai dari yang ekstrim hingga apatis.
Namun apapun itu, mahasiswa harus kritis mengambil pilihan untuk bersama dalam
dengan elemen masyarakat sipil lainnya demi kemajuan bangsa dan negara.
Dengan pertimbangan sosial politik dan proses
demokrasi yang sudah sampai ke tahap sekarang maka, mahasiswa perlu mengambil
bagian secara positif untuk terlaksananya pemilu berkualitas. Jika kita setuju
bahwa pemilu 2014 memiliki urgensi dan dampak jangka panjang maka harus ada
andil positif yang kita berikan. sebagai wujud tanggungjawab kita berbangsa dan
bernegara. Memboikot pemilu pun tidak memberi dampak apa-apa ditengah keringnya
keteladanan dan trust antar anak
bangsa. Oleh karena itu, mahasiswa harus total dalam melakukan sosialisasi,
penyadaran serta pendidikan politik bagi masyarakat. Pada sisi lain tetap
kritis terhadap penyelenggara.
Akhirnya mahasiswa harus menginisiasi sebuah gerakan
nyata yang massif di seluruh Indonesia untuk: pertama, Melakukan penyadaran dan pendidikan bagi masyarakat
tentang pentingnya pemilu bagi kehidupan bernegara untuk jangka panjang. Kedua, Melakukan pemantauan dan
pengawasan terhadap proses dan seluruh tahapan pemilu baik itu yang dilakukan
oleh penyelenggara maupun peserta pemilu. Ketiga,
Mendorong terciptanya demokrasi yang berkualitas dengan menolak politik uang
atau praktek politik transaksional lainnya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah memberi komentar