Setelah lama saya tidak menyentuh catatan ini, akhirnya bisa selesai juga. Selain disibukkan oleh UAS pada November dan Desember 2013 lalu, saya juga kewalahan mengumpulkan remah-remah (hehe...) catatan saya di kumpulan kertas dari Busan. Karena keterbatasan alat, maka setiap catatan yang saya anggap penting di Busan tidak langsung ke komputer, tetapi saya tuliskan secara manual pada block note yang dibagikan. Meski tidak semua informasi saya bisa sajikan, tetapi kumpulan catatan ini mungkin bermanfaat bagi pembaca. Oh ya, pada bulan Oktober-November 2013 saya menghadiri Sidang DGD di Busan Korea Selatan
.
Terlebih dahulu,
mari kita lihat sekilas tentang Sidang Dewan Gereja-Gereja se-dunia (DGD) atau secara global lebih dikenal sebagai
World Council of Churches General Assembly (WCC GA). Sidang yang
diselenggarakan di Busan, Korea Selatan ini merupakan sidang yang ke-10 sejak
pertemuan pertama pada tahun1948 di Amsterdam Belanda. Sidang DGD kali ini
diklaim panitia berhasil mendatangkan sekitar 4000 partisipan dari lebih dari
120 negara.
Tema yang
menaungi sidang DGD ke-10 ini menurut saya dibahas cukup komprehensif dalam
banyak sesi yang disediakan oleh panitia lokal maupun DGD sendiri. Tanpa
bermaksud mereduksi kualitas dan dalamnya
isu yang dibahas, saya hendak memberi catatan pada tiga hal utama.
Ketiga hal tersebut ialah pertama persekutuan, kedua misi, penginjilan dan
dialog lintas iman serta yang terakhir adalah perdamaian dan keadilan dunia.
Dua hal pertama merupakan rangkuman catatan dari beberapa sesi yang saya ikuti secara khusus
selama sidang DGD. Isinya lebih pada bagaimana gereja melihat dirinya dan
kemudian mengekspresikannya pada lingkungannya. Sementara bagian terakhir
merupakan refleksi gereja terhadap panggilan pelayanannya dalam dunia yang
terus berubah dengan cepat. Refleksi tersebut saya buat dalam catatan terpisah.
Sidang DGD
secara teknis dipersiapkan oleh komite lokal di Korea. Seluruh persidangan
dilaksanakan di lingkungan Bexco kecuali beberapa side even serta pertemuan-pertemuan formal organisasi/lembaga yang
memanfaatkan momen perjumpaan mereka di Busan. Resminya, sidang DGD berlangsung
tanggal 30 oktober 2013 – 8 November 2013. Namun sebelum sidang itu
berlangsung, DGD juga menyelengarakan pra sidang untuk empat kategori pada
tanggal 28-29 Oktober. Keempat kategori itu ialah Pemuda, pertemuan perempuan
dan laki-laki, Masyarakat Adat serta Ecumenical
Disability Advocates Network (EDAN). Khusus yang terakhir, saya agak kaku
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Selain pra sidang, para teolog muda
juga menggelar pertemuan yang mereka sebut The Global Ecumenical Theological
Institute (GETI). World Student Christian Federation (WSCF) sendiri sebelum
menghadiri pra sidang dan sidang DGD juga menggelar dua kegiatan di Seoul,
yakni Global Exco Meeting dan International Student Christian Peace Symposium
pada tanggal 24-27 Oktober 2013.
Adapun pada
sidang DGD selama 10 hari menjadi perjalanan spiritual oikumenis dari ribuan
orang dari seluruh penjuru dunia. Bertemu langsung dengan orang-orang Kristen
Palestina yang menderita akibat pendudukan Israel di Timur Tengah, orang
Kiribati yang kehilangan pulau-pulau atolnya akibat pemanasan global hingga
orang-orang dari Iceland yang merasakan menjadi saksi mencairnya es di kutub
Utara. Beberapa mata acara umum yang diselenggarakan selama sidang diantaranya
ibadah pagi/malam, penelahaan alkitab, sesi pleno berupa seminar umum dengan
topik tertentu, bussines meeting
(persidangan), workshop, percakapan ekumenis, pameran, tour akhir pekan
sekaligus mendalami isu-isu tertentu di lokasi tour, pentas budaya, kampanye, flash mob dan sebagainya.
Saya sendiri
mengikuti penelahaan alkitab untuk kelas bahasa inggris, empat dari enam
seminar umum yang terbuka untuk seluruh peserta, hanya bisa menghadiri empat
workshop dan beberapa diskusi di sekitar lokasi pameran dengan topik tertentu.
Adapun percakapan yang sempat saya ikuti diantaranya musik gerejawi, kampanye
anti nuklir dan kehidupan warga palestina.
Percakapan tersebut memberi wawasan dan perspektif baru tentang isu-isu keadilan
sosial yang sedang dihadapi oleh seluruh umat manusia di berbagai penjuru bumi.
Dengan penataan
acara yang sangat baik sekaligus ketat, maka tidak ada orang yang hadir di Busan
sebagai penggembira belaka. Meski peserta penuh dari persidangan resmi DGD hanya sekitar 1000 orang
(tepatnya hanya sekitar 850 peserta penuh), tetapi partisipan lainnya dapat
berkontribusi aktif dalam berbagai workshop dan percakapan oikumenis yang
berlangsung. Hasil percakapan oikumenis yang diikuti oleh seluruh perserta
menjadi masukan penting bagi keputusan persidangan DGD sendiri.
Setelah bersidang
sekitar seminggu, sidang raya akhirnya menghasilkan beberapa keputusan baik
berupa pernyataan, dokumen maupun badan pengurus DGD yang baru. Beberapa badan
yang dipilih oleh persidangan ialah Central
Committee dan Presidents.
Selanjutnya, sidang pertama Central
Committee yang langsung diselenggarakan di Busan juga memilih Moderator
DGD, wakil moderator serta 23 orang
anggota Executive Committee
(Sekretaris Jenderal yang masa jabatannya belum berakhir tahun 2013 ini juga
secara ex-officio menjadi anggota Central Committee). Central Committee (CC) merupakan badan yang beranggotakan 150 orang
yang berhak mengeluarkan keputusan-keputusan DGD hingga sidang raya berikutnya
tahun 2020 mendatang. Berikut ini komposisi CC hasil sidang raya Busan: Perempuan 39%,
laki-laki 61% (tidak memenuhi 50% sebagaimana disyaratkan), pemuda 13% (tidak mencapai
20%), masyarakat adat 5%, orang berkebutuhan khusus 2%, pemimpin agama/pendeta
sebanyak 68% dan 32% unsur awam.
Sebanyak enam
orang utusan Indonesia terpilih menjadi anggota CC yakni: Dr. Fransina Yoteni
dari GKI di Tanah Papua (beliau juga merepresentasi gereja reformed, perempuan,
kaum awam dan masyarakat adat). Pdt. Abednego Adinugroho dari Gereja Kristen
Jawi Wetan (Gereja reformed). Tony Waworuntu dari Gereja Protestan Indonesia Barat/GPIB
(Reformed dan juga representasi kaum
awam). Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang dari Gereja Toraja (Reformed dan
juga mewakili unsur perempuan). Pdt. Kristi dari Gereja Kristen Jawa (Reformed
yang juga mewakili unsur perempuan serta pemuda). Pdt. Willem T.P. Simarmata
dari Huria Kristen Batak Prostestan (Lutheran). Dalam aturan DGD untuk
menentukan 150 anggota CC sangat memperhatikan perimbangan gender, wilayah,
kaum awam dan pendeta, pemuda, ajaran/aliran gereja, kaum berkebutuhan khusus
dan masyarakat adat.
Badan lain yang
dipilih oleh Sidang Raya ialah beberapa Presiden DGD. Disebut beberapa presiden
karena jumlahnya lebih dari satu yang masing-masing menunjukan unsur
keterwakilan tertentu. Mereka bertugas mewakili DGD di wilayah kerjanya masing-masing
dalam mengawal gerakan oikumenisme. Meski menunjukkan keterwakilan wilayah,
komposisi presiden DGD juga memperhatikan keterwakilan gender dan aliran
gereja. Adapun delapan presiden yang terpilih dalam sidang raya di Busan yakni:
Pdt. Dr. Mary Anne Plaatjies van Huffel dari Afrika Selatan untuk wilayah
Afrika (Reformed), Pdt Prof Dr. Sang Chang dari Korea Selatan untuk wilayah
Asia (Presbiterian), Archbishop Anders Wejryd dari Swedia untuk wilayah Eropa,
Pdt. Gloria Nohemy Ulloa Alvarado dari Kolombia untuk wilayah Amerika Latin dan
Karibia (Presbiterian), Bishop Mark MacDonald dari Kanada untuk wilayah Amerika
Utara (Anglican), Pdt. Dr. Mele’ana
Puloka dari Tonga untuk wilayah Pasifik (Wesleyan), H.B. John X untuk Ortodoks Timur (Ortodoks), H.H. Karekin II
untuk Ortodoks Oriental. Masa bakti sebelumnya (2006-2013), Pdt. Dr.
SAE Nababan dari Indonesia merupakan Presiden untuk wilayah Asia.
Dalam sidang
pertamanya, CC memilih seorang moderator dan dua orang wakil moderator untuk
memimpin DGD serta dua puluh anggota Executive Committee. Moderator yang
terpilih yakni Dr. Agnes Abuom dari Nairobi, Kenya. Dalam Sejarah DGD, Dr Abuom
merupakan wanita pertama sekaligus orang Afrika pertama yang tepilih memimpin
badan tertinggi di DGD tersebut. Sementara untuk wakil moderator CC menunjuk
Bishop Mary Ann Swenson dari Amerika dan H.E. Metropolitan Prof Dr. Gennadios
of Sassima dari gereja Ortodoks Timur (“H.E. Metropolitan” merupakan gelar bagi
pemuka gereja di Ortodoks Timur). Masa bakti sebelumnya (2006-2013), Pdt. Margaretha
Ririmase dari Indonesia merupakan salah satu wakil Moderator. Adapun Executive Committee merupakan badan yang
diberi kewenangan khusus dan bersidang dua kali dalam setahun untuk memutuskan
hal-hal mendesak berdasarkan kebijakan sidang-sidang CC. Executive Committee juga berwenang menunjuk staf program, memonitor
pelaksanaan program, mengawasi implementasi anggaran berdasarkan keputusan CC.
Sidang CC 2013 di Busan menunjuk Pdt. Heriette Hutabarat-Lebang dari Indonesia
sebagai salah satu dari 20 anggota Executive Committee.
Meski terlihat
sangat kompleks namun badan-badan di DGD mempunyai tugasnya masing-masing
secara jelas. Ada yang unik tentang kepemimpinan DGD antara Presidents dan
Moderator. Jika Presidents bertugas semacam kepala negara dalam suatu
pemerintahan negara, maka Moderator adalah kepela pemerintahannya. Saya mencoba
memperbandingkan dengan badan yang ada di Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia sebagai berikut:
DGD
|
PGI
|
General
Assembly/Sidang Raya (7 tahun sekali)
|
Sidang Raya (5
tahun sekali)
|
Central
Committee / Komisi Pusat (bersidang setiap 12 – 18 bulan sekali)
|
Majelis
Pekerja Lengkap (bersidang setahun sekali)
|
Presidents /
beberapa presiden
|
Majelis
Pekerja Harian
|
Executive
Committee / Komite eksekutif
|
Majelis
Pekerja Harian
|
Moderator,
vice-moderators and General Secretary / Moderator, wakil moderator dan
sekretaris jenderal
|
Executive
Officer MPH (MPH fulltime di Sekretariat umum)
|
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah memberi komentar