Wednesday, January 29, 2014

Urgensi Pemilu 2014 Bagi Masa Depan Demokrasi Indonesia



Catatan ini saya sampaikan dalam sebuah diskusi mahasiswa di Galery Cafe, Cikini Jakarta Pusat akhir Januari 2014. Banyak opini yang muncul dalam diskusi tersebut tetapi pada intinya semua sepakat bahwa Pemilu 2014 merupakan pertaruhan masa depan demokrasi kita. Sehingga seluruh komponen bangsa harus bersama-sama mengambil peran positif dan signifikan bagi terselenggaranya pemilu yang berkualitas.


I
Pemilihan umum tahun 2014 sebentar lagi akan digelar. Meski tahapannya sudah dimulai sejak lebih dari setahun lalu namun masyarakat lebih mengenal pemilu sebagai hari pencoblosan. Memang tidak ada salahnya kita mengasosiasikan pemilu dengan hari dimana kita memberikan suara. Namun bukan berarti kita melupakan proses dan tahapan pemilu secara lengkap.
Pemilu 2014 merupakan pertaruhan bangsa Indonesia dalam fase transisi menuju negara demokratis yang dewasa. setelah mereformasi sistem politik pasca reformasi 1998, Indonesia sudah tiga kali melaksanakan pemilu “demokratis” untuk memilih pemimpinnya dalam 15 tahun terakhir. Belum lagi ratusan pilkada yang sudah digelar oleh rejim Pemilu yang sama yakni Komisi Pemilihan Umum. Dengan demikian setidaknya kita seharusnya punya pengalaman cukup untuk itu. Untuk melihat masa depan demokrasi kita dalam perspektif pemilu, maka perlu untuk berefleksi terhadap proses pemilu-pemilu sebelumnya. Alih-alih secara serius mereformasi diri, para pelaku politik di negara ini semakin menikmati penderitaan rakyatnya. Para anggota DPR misalnya yang terlibat kasus korupsi bahkan tidak produktif dalam 5 tahun dengan percaya diri kembali mencalonkan dirinya. Elit bangsa telah kehilangan keteladanan serta budaya malu.
Tanpa bermaksud mereduksi prestasi yang sudah dicapai, setidaknya ada 5 hal yang menjadi catatan penting saya dari perjalanan demokrasi kita melaksanakan pemilu sejak 1999 - 2013:
1.      Belum ada desain jangka panjang tentang sistem politik kepartaian kita. Setiap menjelang pemilu, para politisi di DPR sibuk dengan revisi UU pemilu untuk kepentingan jangka pendek. Sama sekali tidak ada visi kolektif dari lembaga DPR tentang format ideal kepartaian di negara yang majemuk ini.
2.      Tingkat partisipasi masyarakat yang semakin menurun. Menurut Catatan KPU sendiri, pada tahun 1999 tingkat partisipasi dalam Pemilu tercatat 93 persen. Selanjutnya pada tahun 2004 menurun menjadi 84,1 persen dan akhirnya pada tahun 2009 hanya 71,1 persen. kalau tren ini berlanjut maka bukan tidak mungkin tingkat partispiasi pemilu 2014 tinggal 50% - 60%. Fenomena ini akibat psikologi sosial masyarakat yang semakin jenuh mendatangani tempat pemungutan suara sementara tidak ada perubahan substansial yang mereka alami. Dalam catatan beberapa LSM dalam 5 tahun  masyarakat setidaknya harus ke TPS sebanyak 9 kali untuk memberikan suaranya.
3.      Sistem yang demokratis belum melahirkan pemimpin dengan kualitas integritas dan kapasitas yang baik. Dalam 3 Pemilu terakhir dan ratusan pilkada lainnya yang dianggap antithesis dari otoritarianisme orde baru ternyata tidak berbanding lurus dengan tokoh yang dihasilkan. Pejabat-pejabat korup yang banyak di media juga bahkan sebagian tidak ada kaitan sama sekali dengan pemerintahan orde baru. Mahalnya demokrasi membuat para peserta (bahkan penyelenggara pemilu) harus menggadaikan integritasnya. Masyarakat pun terseret dalam pusaran mematikan tersebut.
4.      Pemilu berikut Pilkada melahirkan budaya pragmatism baru yang cenderung negative di masyarakat. Masyarakat semakin mengkapitalisasi kualitas electoral vote-nya dengan ukuran-ukuran materi tertentu. Realitas ini melahirkan relasi sosial yang cenderung segregatif dan rawan konflik. Korupsi, kerusakan lingkungan, dan rendahnya kualitas pemimpin lahir dari proses ini. Karena pragmatism tersebut akhirnya perang suku di Papua misalnya juga bertransformasi dari kebiasaan alami masyarakat menjadi desain elit untuk kekuasaan.
5.      Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap partai politik sebagai instrumen demokrasi. Partai politik yang harusnya menjadi lembaga penyalur aspirasi politik masyarakat berada pada ruang dan dimensi yang seolah – olah terpisah dengan masyarakat pemilih. Sebuah hasil survey yang dimuat tribunnews.com pada awal Januari 2014 menunjukkan bahwa hanya 9% masyarakat pemilih yang percaya terhadap Partai Politik.
II
Berangkat dari prestasi dan catatan kritis terhadap pemilu sebelumnya, maka seharusnya pemilu 2014 menjadi ajang penyempurnaan proses Pemilu yang demokratis dalam konteks negara majemuk seperti Indonesia. Dalam konteks ini, partai partai politik seharusnya  secara transparan menunjukkan akuntabilitasnya dalam seluruh tahapan pemilu mulai dari rekrutmen hingga kompetisi Pemilu. Beberapa tahapan ke depan yang akan kita lewati merupakan kesempatan bagi partai politik untuk memperbaiki citra dirinya sebagai peserta pemilu yang bertanggungjawab. Menunjukkan keteladanan moral lewat orang-orangnya serta mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Dalam studi sederhana yang dilakukan oleh beberapa cabang GMKI, maka kedepan kita masih mengalami masalah serius untuk melaksanakan Pemilu secara berkualitas:
Pertama, KPU sebagai penyelenggara belum maksimal mempersiapkan teknis penyelenggaraan pemilu. Hal ini ditandai dengan masih ditemuinya pemilih Ganda, sudah meninggal dunia maupun fiktif dalam DPT. Kualitas demokrasi juga dipertaruhkan dengan masalah distribusi logistik bahkan sistem noken di Papua yang dipahami secara keliru oleh KPU sebagai penyelenggara. Belum ditetapkannya beberapa komisioner KPU di daerah juga menjadi tanda awas bagi pelaksanaan pemilu ke depan.
Kedua, Masyarakat pemilih sebagai kunci sukses terselenggaranya Pemilu yang berkualitas belum menjadikan Pemilu sebagai agenda pentingnya di tahun 2014. Di beberapa tempat terutama di daerah  terpencil dan terdepan masyarakat tidak begitu peduli akan hak pilihnya dan tanggal pemilihan.  Persepsi masyarakat tentang kontestasi pemilihan umum yang berkaitan dengan materi juga masih membayangi dan menjadi pintu masuk bagi praktek politik uang.
Ketiga, Aparatur negara baik pusat maupun di daerah sebagai personifikasi negara belum mempunyai kesamaan gerak dengan KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Di beberapa tempat misalnya pemerintah daerah harus mendapatkan anggaran untuk melakukan verifikasi terhadap Daftar Pemilih. Aparat keamanan juga masih memandang proses pemilu dalam perspektif proyek pengamanan. Padahal negara sudah membiayai mereka untuk tugas pengamanan dalam situasi apapun termasuk Pemilu. Pemerintah berkuasa juga sebenarnya sangat rawan kedepan untuk memanfaatkan kisruh DPT untuk memanipulasi hasil Pemilu.
Keempat, peserta pemilu bagi Partai Politik, Caleg, Capres maupun Cawapres sangat rentan untuk mencari celah aturan dalam melakukan kecurangan Pemilu. Kecurangan itu bisa dilakukan baik pada tahap kampanye, hari pemilihan bahkan saat penghitungan/rekapitulasi suara. Praktek Politik uang yang hingga kini tidak terdefenisi secara jelas selalui dimulai dari itikad buruk yang ada dalam diri peserta pemilu.
III
Dalam kurun waktu 70 hari ke depan seluruh stakeholder pemilu harus mereformasi dirinya secara cepat. Waktu yang tersisa memang tidak bisa merubah budaya kerja tetapi ada beberapa hal substansial yang bisa dilakukan. Selain itu, ada pekerjaan teknis yang bisa diakselerasi sehingga target capaian kualitatif dari Pemilu 2014 ini bisa tercapai. Jika bercermin dari catatan korektif terhadap proses demokrasi kita pasca reformasi diatas maka ada empat sector yang harus merubah citra dan paradigmanya tentang pemilu yakni penyelenggara, peserta, aparatur negara (Pemerintah dan TNI/Polri) dan masyarakat pemilih.
KPU dan rejim pemilu lainnya masih mempunyai kesempatan untuk melakukan akselerasi dan memperbaiki akuntabilitas kinerjanya. Mereka harus merubah paradigm dari sekedar menyelenggarakan atau  menaikkan tingkat partisipasi pemilih namun juga harus memastikan bahwa peserta pemilu berkompetisi secara benar dan masyarakat menggunakan haknya secara objektif. Kekosongan aturan serta ketegasan menegakkannya menjadi tugas penyelenggara lainnya dalam waktu yang singkat  ini. tentu saja melibatkan  kelompok masyarakat sipil menjadi keharusan. Salah satu momok yang paling mengancam kualitas demokrasi kita adalah politik uang. Perlu keberanian untuk menembus kekosongan dan penegakan aturan untuk praktek politik uang itu.
Dibutuhkan komitmen jelas dari peserta pemilu untuk menjalani pemilu secara benar dan bertanggungjawab. Pada level yang lebih tinggi, peserta pemilu perlu membangun komitmen atau pakta integritas untuk selama 5 tahun jika terpilih akan mengemban amanat rakyat. Dalam kerangka desain pemilu yang baik, Anggota DPR hasil pemilu juga harus memiliki kemauan politik secara kolektif untuk menyusun format pemilu jangka panjang yang tidak berbasis kepentingan sesaat. Tentunya semua itu dikerjakan dalam niat yang sama untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institutsi partai politik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi politiknya.

Ada paradigm anggaran dalam perspektif aparatur negara yang harus dirubah dalam memandang pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat. Misalnya pelibatan aparatur negara dalam melakukan verifikasi kependudukan haruslah dipandang sebagai tanggungjawabnya untuk memastikan jumlah penduduk di wilayah kerjanya. Oleh karena itu, negara sudah membayar gaji bulanannya untuk melakukan tugas tersebut. Demikian juga dengan aparat keamanan. Dengan ataupun tanpa Pemilu, negara membayar biaya hidup mereka untuk mengamankan negara dan rakyatnya

Masyarakat pemilih memegang peranan penting terselenggaranya pemilu berkualitas. Mereka harus mengenali calon wakilnya secara baik dan objektif. Mereka juga harus mengawasi tidak saja saat wakilnya menjadi calon tetapi juga saat mereka sudah terpilih. Tidak kalah pentingnya harus ada kesadaran kolektif dari masyarakat untuk hadir di TPS menggunakan hak pilihnya pada hari pemilihan. Paradigma terhadap pemilu yang berkaitan dengan materi harus dirubah sebagai sebuah proses melahirkan pemimpin yang berhutang pada rakyat. Dengan demikian, mampu menekan praktek politik uang.

IV
Setelah melihat berbagai dinamika diatas, mahasiswa dituntut untuk menempatkan dirinya pada porsi yang tepat untuk kemajuan bangsa dan negara. Ada banyak pilihan sikap mulai dari yang ekstrim hingga apatis. Namun apapun itu, mahasiswa harus kritis mengambil pilihan untuk bersama dalam dengan elemen masyarakat sipil lainnya demi kemajuan bangsa dan negara.

Dengan pertimbangan sosial politik dan proses demokrasi yang sudah sampai ke tahap sekarang maka, mahasiswa perlu mengambil bagian secara positif untuk terlaksananya pemilu berkualitas. Jika kita setuju bahwa pemilu 2014 memiliki urgensi dan dampak jangka panjang maka harus ada andil positif yang kita berikan. sebagai wujud tanggungjawab kita berbangsa dan bernegara. Memboikot pemilu pun tidak memberi dampak apa-apa ditengah keringnya keteladanan dan trust antar anak bangsa. Oleh karena itu, mahasiswa harus total dalam melakukan sosialisasi, penyadaran serta pendidikan politik bagi masyarakat. Pada sisi lain tetap kritis terhadap penyelenggara.

Akhirnya mahasiswa harus menginisiasi sebuah gerakan nyata yang massif di seluruh Indonesia untuk: pertama, Melakukan penyadaran dan pendidikan bagi masyarakat tentang pentingnya pemilu bagi kehidupan bernegara untuk jangka panjang. Kedua, Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap proses dan seluruh tahapan pemilu baik itu yang dilakukan oleh penyelenggara maupun peserta pemilu. Ketiga, Mendorong terciptanya demokrasi yang berkualitas dengan menolak politik uang atau praktek politik transaksional lainnya.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah memberi komentar