Tuesday, January 14, 2014

Sekilas Tentang Sidang DGD di Busan 2013



Setelah lama saya tidak menyentuh catatan ini, akhirnya bisa selesai juga. Selain disibukkan oleh UAS pada November dan Desember 2013 lalu, saya juga kewalahan mengumpulkan remah-remah (hehe...)  catatan saya di kumpulan kertas dari Busan. Karena keterbatasan alat, maka setiap catatan yang saya anggap penting di Busan tidak langsung ke komputer, tetapi saya tuliskan secara manual pada block note yang dibagikan. Meski tidak semua informasi saya bisa sajikan, tetapi kumpulan catatan ini mungkin bermanfaat bagi pembaca. Oh ya, pada bulan Oktober-November 2013 saya menghadiri Sidang DGD di Busan Korea Selatan
.

Terlebih dahulu, mari kita lihat sekilas tentang Sidang Dewan Gereja-Gereja se-dunia (DGD)  atau secara global lebih dikenal sebagai World Council of Churches General Assembly (WCC GA). Sidang yang diselenggarakan di Busan, Korea Selatan ini merupakan sidang yang ke-10 sejak pertemuan pertama pada tahun1948 di Amsterdam Belanda. Sidang DGD kali ini diklaim panitia berhasil mendatangkan sekitar 4000 partisipan dari lebih dari 120 negara.
Tema yang menaungi sidang DGD ke-10 ini menurut saya dibahas cukup komprehensif dalam banyak sesi yang disediakan oleh panitia lokal maupun DGD sendiri. Tanpa bermaksud mereduksi kualitas dan dalamnya  isu yang dibahas, saya hendak memberi catatan pada tiga hal utama. Ketiga hal tersebut ialah pertama persekutuan, kedua misi, penginjilan dan dialog lintas iman serta yang terakhir adalah perdamaian dan keadilan dunia. Dua hal pertama merupakan rangkuman catatan dari  beberapa sesi yang saya ikuti secara khusus selama sidang DGD. Isinya lebih pada bagaimana gereja melihat dirinya dan kemudian mengekspresikannya pada lingkungannya. Sementara bagian terakhir merupakan refleksi gereja terhadap panggilan pelayanannya dalam dunia yang terus berubah dengan cepat. Refleksi tersebut saya buat dalam catatan terpisah.
Sidang DGD secara teknis dipersiapkan oleh komite lokal di Korea. Seluruh persidangan dilaksanakan di lingkungan Bexco kecuali beberapa side even serta pertemuan-pertemuan formal organisasi/lembaga yang memanfaatkan momen perjumpaan mereka di Busan. Resminya, sidang DGD berlangsung tanggal 30 oktober 2013 – 8 November 2013. Namun sebelum sidang itu berlangsung, DGD juga menyelengarakan pra sidang untuk empat kategori pada tanggal 28-29 Oktober. Keempat kategori itu ialah Pemuda, pertemuan perempuan dan laki-laki, Masyarakat Adat serta Ecumenical Disability Advocates Network (EDAN). Khusus yang terakhir, saya agak kaku menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Selain pra sidang, para teolog muda juga menggelar pertemuan yang mereka sebut The Global Ecumenical Theological Institute (GETI). World Student Christian Federation (WSCF) sendiri sebelum menghadiri pra sidang dan sidang DGD juga menggelar dua kegiatan di Seoul, yakni Global Exco Meeting dan International Student Christian Peace Symposium pada tanggal 24-27 Oktober 2013.
Adapun pada sidang DGD selama 10 hari menjadi perjalanan spiritual oikumenis dari ribuan orang dari seluruh penjuru dunia. Bertemu langsung dengan orang-orang Kristen Palestina yang menderita akibat pendudukan Israel di Timur Tengah, orang Kiribati yang kehilangan pulau-pulau atolnya akibat pemanasan global hingga orang-orang dari Iceland yang merasakan menjadi saksi mencairnya es di kutub Utara. Beberapa mata acara umum yang diselenggarakan selama sidang diantaranya ibadah pagi/malam, penelahaan alkitab, sesi pleno berupa seminar umum dengan topik tertentu, bussines meeting (persidangan), workshop, percakapan ekumenis, pameran, tour akhir pekan sekaligus mendalami isu-isu tertentu di lokasi tour, pentas budaya, kampanye, flash mob dan sebagainya.
Saya sendiri mengikuti penelahaan alkitab untuk kelas bahasa inggris, empat dari enam seminar umum yang terbuka untuk seluruh peserta, hanya bisa menghadiri empat workshop dan beberapa diskusi di sekitar lokasi pameran dengan topik tertentu. Adapun percakapan yang sempat saya ikuti diantaranya musik gerejawi, kampanye anti nuklir dan kehidupan warga palestina.  Percakapan tersebut memberi wawasan dan perspektif baru tentang isu-isu keadilan sosial yang sedang dihadapi oleh seluruh umat manusia di berbagai penjuru bumi.
Dengan penataan acara yang sangat baik sekaligus ketat, maka tidak ada orang yang hadir di Busan sebagai penggembira belaka. Meski peserta penuh dari  persidangan resmi DGD hanya sekitar 1000 orang (tepatnya hanya sekitar 850 peserta penuh), tetapi partisipan lainnya dapat berkontribusi aktif dalam berbagai workshop dan percakapan oikumenis yang berlangsung. Hasil percakapan oikumenis yang diikuti oleh seluruh perserta menjadi masukan penting bagi keputusan persidangan DGD sendiri. 
Setelah bersidang sekitar seminggu, sidang raya akhirnya menghasilkan beberapa keputusan baik berupa pernyataan, dokumen maupun badan pengurus DGD yang baru. Beberapa badan yang dipilih oleh persidangan ialah Central Committee dan Presidents. Selanjutnya, sidang pertama Central Committee yang langsung diselenggarakan di Busan juga memilih Moderator DGD, wakil moderator serta  23 orang anggota Executive Committee (Sekretaris Jenderal yang masa jabatannya belum berakhir tahun 2013 ini juga secara ex-officio menjadi anggota Central Committee). Central Committee (CC) merupakan badan yang beranggotakan 150 orang yang berhak mengeluarkan keputusan-keputusan DGD hingga sidang raya berikutnya tahun 2020 mendatang. Berikut ini komposisi CC  hasil sidang raya Busan: Perempuan 39%, laki-laki 61% (tidak memenuhi 50% sebagaimana disyaratkan), pemuda 13% (tidak mencapai 20%), masyarakat adat 5%, orang berkebutuhan khusus 2%, pemimpin agama/pendeta sebanyak 68% dan 32% unsur awam.
Sebanyak enam orang utusan Indonesia terpilih menjadi anggota CC yakni: Dr. Fransina Yoteni dari GKI di Tanah Papua (beliau juga merepresentasi gereja reformed, perempuan, kaum awam dan masyarakat adat). Pdt. Abednego Adinugroho dari Gereja Kristen Jawi Wetan (Gereja reformed). Tony Waworuntu dari Gereja Protestan Indonesia Barat/GPIB (Reformed dan juga representasi  kaum awam). Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang dari Gereja Toraja (Reformed dan juga mewakili unsur perempuan). Pdt. Kristi dari Gereja Kristen Jawa (Reformed yang juga mewakili unsur perempuan serta pemuda). Pdt. Willem T.P. Simarmata dari Huria Kristen Batak Prostestan (Lutheran). Dalam aturan DGD untuk menentukan 150 anggota CC sangat memperhatikan perimbangan gender, wilayah, kaum awam dan pendeta, pemuda, ajaran/aliran gereja, kaum berkebutuhan khusus dan masyarakat adat.
Badan lain yang dipilih oleh Sidang Raya ialah beberapa Presiden DGD. Disebut beberapa presiden karena jumlahnya lebih dari satu yang masing-masing menunjukan unsur keterwakilan tertentu. Mereka bertugas mewakili DGD di wilayah kerjanya masing-masing dalam mengawal gerakan oikumenisme. Meski menunjukkan keterwakilan wilayah, komposisi presiden DGD juga memperhatikan keterwakilan gender dan aliran gereja. Adapun delapan presiden yang terpilih dalam sidang raya di Busan yakni: Pdt. Dr. Mary Anne Plaatjies van Huffel dari Afrika Selatan untuk wilayah Afrika (Reformed), Pdt Prof Dr. Sang Chang dari Korea Selatan untuk wilayah Asia (Presbiterian), Archbishop Anders Wejryd dari Swedia untuk wilayah Eropa, Pdt. Gloria Nohemy Ulloa Alvarado dari Kolombia untuk wilayah Amerika Latin dan Karibia (Presbiterian), Bishop Mark MacDonald dari Kanada untuk wilayah Amerika Utara (Anglican),  Pdt. Dr. Mele’ana Puloka dari Tonga untuk wilayah Pasifik (Wesleyan), H.B. John X untuk  Ortodoks Timur (Ortodoks), H.H. Karekin II untuk  Ortodoks Oriental.  Masa bakti sebelumnya (2006-2013), Pdt. Dr. SAE Nababan dari Indonesia merupakan Presiden untuk wilayah Asia.
Dalam sidang pertamanya, CC memilih seorang moderator dan dua orang wakil moderator untuk memimpin DGD serta dua puluh anggota Executive Committee. Moderator yang terpilih yakni Dr. Agnes Abuom dari Nairobi, Kenya. Dalam Sejarah DGD, Dr Abuom merupakan wanita pertama sekaligus orang Afrika pertama yang tepilih memimpin badan tertinggi di DGD tersebut. Sementara untuk wakil moderator CC menunjuk Bishop Mary Ann Swenson dari Amerika dan H.E. Metropolitan Prof Dr. Gennadios of Sassima dari gereja Ortodoks Timur (“H.E. Metropolitan” merupakan gelar bagi pemuka gereja di Ortodoks Timur). Masa bakti  sebelumnya (2006-2013), Pdt. Margaretha Ririmase dari Indonesia merupakan salah satu wakil Moderator. Adapun Executive Committee merupakan badan yang diberi kewenangan khusus dan bersidang dua kali dalam setahun untuk memutuskan hal-hal mendesak berdasarkan kebijakan sidang-sidang CC. Executive Committee juga berwenang menunjuk staf program, memonitor pelaksanaan program, mengawasi implementasi anggaran berdasarkan keputusan CC. Sidang CC 2013 di Busan menunjuk Pdt. Heriette Hutabarat-Lebang dari Indonesia sebagai salah satu dari 20 anggota Executive Committee.

Meski terlihat sangat kompleks namun badan-badan di DGD mempunyai tugasnya masing-masing secara jelas. Ada yang unik tentang kepemimpinan DGD antara Presidents dan Moderator. Jika Presidents bertugas semacam kepala negara dalam suatu pemerintahan negara, maka Moderator adalah kepela pemerintahannya. Saya mencoba memperbandingkan dengan badan yang ada di Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia sebagai berikut:

DGD
PGI
General Assembly/Sidang Raya (7 tahun sekali)
Sidang Raya (5 tahun sekali)
Central Committee / Komisi Pusat (bersidang setiap 12 – 18 bulan sekali)
Majelis Pekerja Lengkap (bersidang setahun sekali)
Presidents / beberapa presiden
Majelis Pekerja Harian
Executive Committee / Komite eksekutif
Majelis Pekerja Harian
Moderator, vice-moderators and General Secretary / Moderator, wakil moderator dan sekretaris jenderal
Executive Officer MPH (MPH fulltime di Sekretariat umum)


No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah memberi komentar