Thursday, January 30, 2014

Allah Kehidupan, Tuntun Kami Pada Keadilan dan Perdamaian; Refleksi Pasca Sidang DGD di Busan November 201

Sebagaimana ulasan sekilas saya tentang Sidang Dewan Gereja sedunia ke-10 di Busan, Korea Selatan, saya mempunyai beberapa catatan reflektif untuk kita pikirkan dan jalankan bersama. Tanpa bermaksud mereduksi kualitas percakapan yang begitu mendalam dan komprehensif saya menguraikan pikiran-pikiran itu dalam tiga topik besar. Pertama mengenai persekutuan, kedua tentang misi, penginjilan dan dialog lintas iman. Sementara yang ketiga berkenaan dengan keadilan dan perdamaian dunia.

Tentang persekutuan
Sidang Gereja – gereja sedunia menerima dan menggunakan dua dokumen masing – masing berjudul The Church: toward in common vision dan Together towards life: mission and evangelism in changing landscape sebagai sumber dan pedoman memahami dan menjalankan persekutuan,  misi serta penginjilan  di Seluruh dunia. Dokumen ini merupakan hasil percakapan panjang untuk menemukan bentuk  dan visi keesaan gereja di tengah tantangan kekristenan yang begitu kompleks serta berkembang begitu cepat. Hal tersebut saya simpulkan melihat fakta bahwa keputusan ini diambil setelah  sekitar dua dekade komisi iman dan ajaran gereja membicarakannya (khususnya dokumen Toward in common vision).  Olav Fykse Tveit, Sekjend DGD menyebut dokumen ini sebagai upaya ambisius gereja untuk memikirkan kembali apa artinya persekutuan umat percaya dewasa ini.
Isu fundamental tentang keesaan gereja masih seputar hal yang sama seperti percapakan-percakapan ekumnis sebelumnya. Pertanyaan mendasar yang diajukan dokumen ini diantaranya: bagaimana kita mengidentifikasi Gereja dengan kredonya yang satu, suci, catholic dan apostolic? Atau apa sebenarnya kehendak Tuhan terhadap keesaan gerejanya? Pertanyaan –pertanyaan pemandu tersebut dalam konteks Indonesia, pernah dibahas oleh Dr. A.A. Yewangoe dalam sidang MPL PGI di Kupang awal tahun 2013 lalu.
Mengawali ulasan tentang cita-cita keesaan, memang digarisbawahi bahwa bermacam-macamnya aliran gereja merupakan kehendak Bapa. Seperti doa-doa Yesus dan tentunya dalam doa-doa kita juga selalu kita mengungkapkan dengan kalimat penyerahan diri bahwa “Jadilah kehendakMu”. Maksudnya ialah bahwa memang Allah berkehendak untuk segala sesuatu termasuk semakin beranekanya gereja Tuhan.
Istilah koinonia, menjadi titik utama bagaimana gereja-gereja memahami keesaannya. Kata koinonia dalam bahasa inggris diterjemahkan tidak saja sebagai communion secara leterlet tetapi juga participation, fellowship dan sharing. Dalam istilah ini, keesaan tidak bisa diartikan secara sederhana sebagai bersatunya gereja-gereja dalam satu bentuk. Koinonia seharusnya dipahami sebagai kata kerja yang dapat diartikan sebagai “mempunyai sesuatu yang sama”, “saling berbagi”, “berpartisipasi”, “mengambil bagian” atau “bertindak bersama”  (bdk. I Kor 10: 16 – 17). Artinya, Gereja sebagai milik Tuhan tidak hadir untuk dirinya sendiri. Ia mengambil bagian, berpartisipasi untuk lingkungannya. Dalam konteks Indonesia, Gereja Tuhan dipanggil bertidak bersama untuk masalah-masalah kemiskinan, korupsi, kepemimpinan bangsa, pelestarian lingkungan dan sebagainya.
Dalam bagian penutup unity statement dari sidang raya DGD, para peserta menegaskan bahwa gereja-gereja (termasuk di dalamnya lembaga-lembaga pelayanan ekumenis seperti WSCF dll) menerima mandat untuk keesaan gereja dalam misi dan pelayanan. Artinya bahwa keesaan yang dicita-citakan sudah nyata di depan kita tentang bumi yang semakin rusak dan kita harus bersama menghadapinya. Umat Kristen dan warga gereja haruslah satu dalam langkah pelayanannya melakukan tugas panggilannya melawan ketidakadilan, mewujudkan perdamaian, kesejahteraan, keutuhan ciptaan.


Tentang misi, penginjilan dan dialog lintas iman
Dalam perspektif kekristenan, suburnya penginjilan di Asia dan Afrika pada dekade belakangan ini ternyata dikhawatirkan mengulangi ‘kegagalan’ kekristenan pada abad 17 dan 18 yang tidak mampu  membangun relasi yang baik dengan agama-agama lokal. Bisa dibayangkan bagaimana penginjilan abad 17, 18 bahkan 19 yang dibawah oleh bangsa Eropa  di banyak tempat justru merusak tradisi masyarakat setempat yang sebenarnya dapat dikontekstualisasikan dengan iman dan ajaran Kristen. Konflik berbasis agama di India, Sri Lanka dan negara-negara Asia Selatan lainnya merupakan bukti gagalnya kontekstualisasi teologi penginjil kita. Indikasi kegagalan serupa juga dialami oleh banyak masyarakat lokal di Indonesia saat menerima injil mula-mula. Hampir semua tradisi lokal di Indonesia (kecuali tradisi Batak di HKBP)  tergerus oleh doktrin kekristenan yang dibawah oleh misionaris.
Berefleksi dari Khotbah Paulus di Atena, saat melakukan misinya, Paulus sama sekali tidak menegasikan atau bahkan berusaha menghilangkan sama sekali dewa dan patung-patung yang mereka sembah (Kisah 17: 22 – 28). Ia menjelaskan bahwa ia memberitakan tentang Allah yang mereka sembah namun tidak mereka kenal. Bahwa Allah yang mereka tidak kenal itulah yang diberitakan Paulus yang menciptakan langit dan bumi. Paulus juga menegaskan bahwa Allah itu  berkuasa atas langit dan bumi dan tidak diam dalam kuil buatan manusia (ay 23-24). Meski demikian Paulus sama sekali tidak merubuhkan medium atau tempat perjumpaan mereka dengan tuhan itu.
Dialog dan perjumpaan dengan agama/iman lainnya menjadi percakapan panjang dalam beberapa acara Sidang Raya. Wesley Ariarajah, seorang guru besar dari Drew Universtiti School of theology, Sri Lanka menjelaskan dialog lintas iman dengan perumpamaan yang mudah dimengerti. Menurutnya, dialog lintas iman bukanlah pelayanan ambulans yang harus dihadirkan saat ada masalah. Lebih dari itu, dialog lintas iman merupakan program kesehatan masyarakat. Artinya, dialog tersebut bukanlah untuk semata-mata menyelesaikan konflik dan pertikaian antar umat beragama. Dialog lintas iman merupakan sebuah perbuatan preventive untuk saling memahami. Juga menciptakan komunitas masyarakat yang saling bergandeng tangan meski status sosial atau kekuatan/pandangan politik kadang membuat mereka juga harus terpisah. Dalam perspektif tersebut, iman/agama yang berbeda-beda justru perlu dipandang sebagai modal atau kekuatan untuk menghadapi perbedaan ideologis dan fisik lainnya.
Dalam kehidupan umat Kristen di tengah dunia dengan berbagai agama, ada perspektif penting yang menjadi catatan saya selama mengikuti sesi percakapan okumenis tentang topik ini. Bagaimana orang Kristen mengidentifikasi dirinya serta memahami imannya sebagai pengikut Kristus di tengah agama/iman yang beragam.
“Jika kita mengasumsikan identitas kita sebagai orang Kristen pengikut Kristus dengan  berada pada pihak dimana Yesus berpihak, maka asumsi ini berimplikasi terhadap relasi kita dengan Tuhan, dengan dunia dan dengan seluruh umat manusia”.  Demikian pernyataan salah satu hasil percakapan okumenis tentang identitas kekristenan di dunia dengan banyak iman/agama. Pernyataan itu sangat mendasar terhadap pemahaman kita tentang pada siapa sebenarnya kita harus solider dan berpihak di dunia ini. Matius 25:31-46 tetap menjadi rujukan tentang kemana sebaiknya pengikut Kristus berpihak. Yesus mempersonifikasikan dirinya sebagai orang yang lapar, haus, telanjang, orang asing bahkan terpenjara.  Perumpamaan ini tidak hanya dipandang sebagai doktrin tetapi juga posisi berdiri kita dalam pluralitas agama-agama. Kita ketahui bahwa masalah-masalah kemanusiaan universal tersebut menembus batas-batas agama. Bagaimana sikap Yesus dalam perumpamaan ini bisa mempengaruhi hubungan orang Kristen dengan agama-agama lain? Mengutip pernyataan San Antonio (1989), DGD berusaha menjawab pertanyaan tersebut. “We can not point to any other way of salvation than Jesus Christ; at the same time we cannot set limits to the saving power of God.” Saya setuju bahwa bagaimanapun sebagai umat Kristen, kita tidak mampu menunjukkan jalan keselamatan lain diluar Yesus Kristus. Prinsip ini sudah menjadi kredo dan kebenaran mutlak bagi umat Kristen. Tetapi kita tidak punya kuasa untuk membatasi kemahakuasaan Tuhan bagi seluruh umat manusia termasuk umat  beragama lain. Atau dalam bahasa yang lebih lugas, kita bukanlah siapa-siapa untuk membatasi karya penyelamatan Allah melalui dan untuk siapa saja termasuk mungkin umat beragama lain di lingkungan kita.


Tentang keadilan dan perdamaian dunia
Dalam merefleksikan tema sidang raya terhadap pemahaman misi dan penginjilan umum selama ini, maka pertanyaan yang dimunculkan dalam percakapan-percakapan oikumenis ialah keadilan dan perdamaian yang seperti apa yang kita harapkan. Dalam konteks misi yang kita pahami selama ini di satu sisi kita merasa menerima keadilan dan kedamaian dari Tuhan saat berhasil membawa jiwa baru bagi keselamatan, tetapi di sisi lain ada umat beragama lain yang merasa tidak mendapatkan keadilan untuk itu. Demikian sebaliknya kedamaian di kalangan umat Kristen kadang tidak terasa saat ada orang Kristen berpindah agama. Isu ini menjadi salah satu bahasan para teolog dalam menterjemahkan pesan tema sidang raya DGD 2013. Terutama dalam konteks Asia, sangat terasa semacam perang urat syaraf dalam hal perpindahan agama.  Saya pun masih terus membaca beberapa dokumen terkait hal tersebut dan belum dapat simpulan tepat tentang bagaimana seharusnya kita bertindak. Tetapi akhirnya keadilan dan perdamaian dalam spectrum yang lebih luas menjadi lebih penting untuk dibahas. Jika demikian, keadilan dan perdamaian yang luas seperti apa yang kita harapkan? Nilai-nilai universal yang menembus batas-batas kemanusiaan.
Runtuhnya keadilan dalam perspektif ekonomi, politik, ekologi menjadi perhatian serius dalam banyak sesi. Gereja – gereja menyadari bahwa ketidakadilan tersebut banyak disebabkan oleh struktur dan budaya masyarakat sendiri. Struktur dalam pengertian sistem pemerintah negara-negara. Dalam perspektif teologis umat Kristen, sesungguhnya ekonomi adalah pemberian dan anugerah kelimpahan yang diberikan kepada semua orang (Lih Yohanes 10:10). Meski demikian, ada rintihan umat manusia dalam penderitaan kemiskinan ekonomi akibat kerakusan manusia dalam menyalahgunakan kelimpahan tersebut. Karena keserakahan itu, orang bahkan berdagang dalam bait Allah dan Yesus sangat menentangnya (Mat 12:12). Ia menunjukkan kuasanya dengan membuat yang lemah menjadi kuat dan yang kuat menjadi lemah (I Kor 1:25-28).Sekali lagi Ia mempersonifikasikan dirinya sebagai orang yang lemah agar apa yang kita lakukan untuk orang yang lemah – termasuk miskin ekonomi, termarginal secara politik atau korban ketidakadilan ekologi – maka kita melakukannya untuk Dia.
Bermacam realitas ketidakadilan yang sedang kita hadapi antara lain pasar bebas yang semakin memperdalam jurang antara yang kaya dan miskin. Perubahan iklim dan ancaman terhadap keutuhan ciptaan menjadi tantangan bagi ketersediaan pangan, air, bahkan kesehatan manusia sendiri. Situasi itu juga menimbulkan migrasi yang tidak adil dan peperangan untuk memperebutkan sumber daya. Dalam situasi itu, ketidakadilan menyebabkan perdamaian hilang dalam diri manusia.
Dalam satu dokumen Economy for life, justice, and peace for all yang sudah dibahas panjang sejak awal dekade 2000, DGD mengkritik persepesi liberal yang menyatakan bahwa keuntungan sosial akan secara otomatis mengkuti pertumbuhan ekonomi (GDP). Persepsi itu bahkan disebut sesat. Secara tegas disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa kendali membahayakan habitat kita sebagai manusia. Umumnya, kerusakan ekologis tersebut yang merugikan banyak orang diakibatkan oleh peperangan dan kepentingan elit politik serta elit ekonomi.  Sangat Nampak ketidakdilan tersebut ketika ribuan orang tanpa salah di kepualauan pasifik harus kehilangan tanah nenek moyangnya akibat naiknya permukaan air laut. Padahal fenomena alam itu diakibatkan keserahakan segelintir orang di belahan bumi yang lain.
Lalu apa tugas panggilan Gereja untuk menebar keadilan dan perdamaian di dunia?. Menjawab itu, Saya menuliskan rekomendasi akhir DGD mengenai hal yang paling spesifik tentang ketidakadilan iklim akibat perubahan iklim yang sudah menjadi isu global. Pertama, Mengingatkan kembali perhatian gereja-gereja terhadap perubahan iklim dan efeknya yang merugikan pada seluruh ciptaan khususnya pada komunitas yang rentan di berbagai belahan bumi. Kedua, medorong gereja-gereja untuk mendukung peran DGD dalam memungkinkan ziarah ekumenis bagi keadilan dan perdamaian untuk meperkuat jaringan antar gereja dan masyarakat di berbagai belahan dunia bekerja sama untuk merawat ciptaan Tuhan dan keadilan alam (eco-justice). Ketiga, memanggil gereja-gereja dan lembaga ekumenis lainnya (termasuk WSCF/GMKI) untuk mendesak pemerintah masing-masing agar lebih bertanggungjawab bagi masa depan ciptaan Tuhan serta mendesak mereka untuk melindungi dan mempromosikan Hak-hak asasi manusia yang terancam akibat perubahan iklim. Lebih khusus mendesak Polandia sebagai kepala COP untuk meningkatkan kualitas keputusan Warsaw (Sebagai Catatan pada Akhir tahun 2013 diselenggarakan Conference of Parties (COP) oleh PBB di Warsaw Polandia yang membahas perubahan iklim).  Keempat, menyambut rencana perubahan iklim gedung putih dan menyerukan kepada Presiden Amerika Serikat untuk menolak pembangunan “Keystone Pipeline” di Amerika Serikat. Proyek keystone pipeline adalah pembangunan saluran minyak dari Kanada ke selatan Amerika Serikat. Proyek sepanjang kurang lebih 8000 km ini setidaknya menimbulkan masalah lingkungan, hak ulayat masyarakat adat, ekonomi  bahkan stabilitas geopolitik dunia. 
Dalam konteks keadilan dan perdamaian ini, tentu tidak saja melulu tentang perubahan iklim. DGD juga mengeluarkan beberapa seruan, pernyataan serta rencana aksi terkait beberapa isu global. Diantaranya pernyataan dan seruan terkait politisasi agama dan hak dari kelompok-kelompok minoritas, hak asasi dari orang – orang tanpa warga negara/migrant, perdamaian dan reunifikasi semenanjung Korea yang sekarang terbagi atas Korea Utara dan Korea Selatan, dukungan perdamaian di Republik Demokratik Kongo, kesaksian dan kehadiran kekristenan di Timur Tengah, peringatan 100 tahun genocida orang – orang Armenia oleh kekaisaran Ottoman pada tahun 2015 mendatang, situasi kritis di Abyei Sudan Selatan, pencabutan sangsi ekonomi AS terhadap Kuba, hak-hak masyarakat adat dan isu-isu keadilan perdamaian lainnya

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah memberi komentar