Thursday, February 13, 2014

Goresan kecil dari Kutacane untuk Fitri Napitupulu

  • Malam ini saya dan beberapa teman dari wilayah I (termasuk Kutacane) bersama korwil I menginap di rumah alm. Fitri Napitupulu. Kami kembali ke Kutacane di tengah ribut-ribut media mengenai gugurnya anggota GMKI di Sinabung.
    Saya punya tenaga lebih untuk iseng membuka FB via smartphone karna aktivitas sore tadi tidak terlalu padat (hanya duduk di jok mobil 4 jam Kabanjahe-Kutacane sambil kirim2 sms dan BBM). Malam ini saya ditemani lagu batak yang dinyanyikan teman-teman tepat di serambi rumah dimana saya memperbincangkan tentang GMKI bersama Fitri sekitar 6 bulan yang lalu waktu saya melantiknya sebagai ketua Cabang Kutacane pertama dalam sejarah. Lagu batak yang dimulai dengan kata "Inang.... " Menemani saya saat memulai catatan ini. Saya tidak terlalu paham artinya tetapi jelas terlihat teman-teman begitu menghayatinya. Sangat khas sekumpulan orang Batak sedang bernyanyi diiringi gitar. Apapun artinya tapi saya yakin Desy Panjaitan (salah satu BPC Kutacane) begitu menghayati isinya. Tanpa mengerti artinya sama sekali, saya meneteskan air mata tapi berusaha untuk saya sembunyikan meskipun mungkin ada yang memperhatikannya. Di teras ini pulalah Ibu alm Fitri 6 bulan lalu meminta pada saya agar membawah anak perempuan satu-satunya mengenal dunia luar. Waktu itu saya jelaskan bahwa tanpa keluarpun, Fitri sudah mempunyai jaringan dan kenalan di seluruh Indonesia. Keluar daerah hanya masalah waktu saja. Tetapi akhirnya saya yakinkan bahwa Fitri akan dan harus ke Pontianak akhir 2014. Tuhan berkehendak lain, kini Fitri secara fisik sudah tidak ada. Tapi kami semua merasa bahwa ia semakin dekat dalam diri dan sanubari kami.

    Di tengah pro kontra media sosial FB, saya menulis catatan ini. Bahwa alm Fitri dan kawan-kawannya memang tidak pernah memilih mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini. Ia dan 6 teman yang lain rela kehilangan nyawanya untuk kemanusiaan. Ia juga tidak pernah meminta untuk kami menghormati atau mengenang pengorbanannya. Tetapi bagi kami, ia bersama 6 relawan lainnya menginspirasi dan meneladankan kepada kami tentang semangat, patriotisme, kesetiakawanan, kejuangan dan kemanusiaan.

    Saya punya catatan lain tentang kisah mereka di Sinabung yang agak sulit mengetiknya dengan tuts HP. Saya tidak punya waktu untuk meladeni percakapan yang banyak dan panjang di media sosial. Yang pasti GMKI yakin benar bahwa mereka adalah kader terbaik yang mendedikasikan hidupnya bagi kemanusiaan.
    Tiga hari lalu saya dan sekitar 100 anggota GMKI datang ke sini tepat saat Fitri disemayamkan tanggal 2 feb 2014. Saya berusaha tegar saat kami melakukan ibadah penghiburan disini. Saat didaulat untuk menyampaikan ungkapan bela sungkawa dan penghiburan, saya mulai tidak mampu mengendalikan emosi dan perasaan. Bagi saya, Fitri menyadarkan ribuan kader GMKI bahwa saya dan ribuan orang itu belumlah melakukan apa-apa termasuk yang sering ribut-ribut di FB. Dari 80an ketua Cabang di Indonesia saat ini, hanya 3 atau 4 orang wanita dan satu diantaranya adalah Fitri yang terbujur kaku di tengah-tengah kami. Tidak banyak orang yang mau mengambil tanggungjawab itu di tengah apatisme mahasiswa di Indonesia. Fitri tidak saja istimewa karna satu dari sedikit ketua cabang wanita tetapi juga wanita tangguh yang memimpin cabang baru di tengah konteks Aceh yang khas Syariah. Mata saya makin berkaca-kaca saat mulai berbicara dan melihat ibunya meneteskan mata lemah di depan jasad anaknya. Fitri memang satunya-satunya anak perempuan dari sepuluh bersaudara. Akhirnya tangis saya (kami) tumpah saat menyelubungi peti jenasah dengan bendera biru yang tertutup plastik sambil diiringi lagu mars GMKI.  Itu kejadian tiga hari lalu 2 Februari 2014.
    Belakangan saya tahu bahwa Fitri sempat melapor ke ibunya bahwa mereka mengumpulkan dana sejumlah tertentu dan akan menyerahkannya ke pengungsi Sinabung. Mereka mengumpulkan dana dengan mengedarkan kotak sumbangan di kampus, di persimpangan utama Kutacane, mengamen di pasar. Tidak banyak memang yang mengenal Fitri secara fisik. Tetapi banyak yang mengetahui keistimewaannya sebagai wanita tangguh yang berani memikul tanggungjawab pelayanan sebagai ketua BPC pertama di cabang baru dalam konteks otonomi khusus Aceh.
    Malam ini kami tidur melantai di rumah ini lagi sebagaimana saya alami 6 bulan yang lalu. Meskipun tanpa Fitri, keluarga sudah bersedia jika rumah ini kami cat biru dan menjadi tempat berkumpulnya anak GMKI. Rumah ini akan terus dikenang sebagai simbol perjuangan tertancapnya bendera biru di Tanah Alas, Tanah Rencong bahkan Propinsi Aceh. Secara pribadi saya meminta agar kami (GMKI) diterima sebagai bagian keluarga ini. Permintaaan itu terlontar karena kami tidak punya keluarga di sini tapi kami punya panggilan pelayanan di sini.
    Akhirnya, saya tidak mampu memenuhi janji saya pada ibu. Tetapi, ternyata sekarang tidak harus datang ke Kutacane untuk menjumpai Fitri Napitupulu. Ia hadir dalam semangat kejuangan pelayanan kami dimanapun kami berada. Dia telah beristirahat dengan damai.
    Dalam dingin malam Kutacane, Lawe Petanduk, 6 Feb Dinihari, 2014.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah memberi komentar