Wednesday, March 7, 2012

Kebun Sawit Ancam Populasi Orangutan di Kalimantan



Seekor Mampu Merusak 30-50 Pohon Perhari, Tersisa 2.500 Spesies

SAMARINDA - Aktivitas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan Kaltim pada khususnya kini mengancam populasi orangutan. Sebab terjadi perbedaan perspektif antara konservasionis orangutan dengan perusahaan kelapa sawit.
Pihak perkebunan kelapa sawit masih menganggap orangutan sebagai hama dan baukan sebagai hewan dilindungi. Sehingga upaya dilakukan terhadap orangutan yakni memberantas hama. Dengan Memosisikan orangutan sebagai hama di kebun kelapa sawit mungkin wajar-wajar saja dari perspektif mereka karena dalam sehari seekor orangutan bisa menghabiskan 30-50 pucuk dan umbut tanaman sawit berumur di bawah setahun sebagai sumber pakannya. Demikian diungkapkan Peneliti di Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Fakultas Kehutanan (Fahutan) Unmul Yaya Rayadin dalam jumpa pers di Pusrehut Unmul siang kemarin.
"Dengan anggapan orangutan sebagai hama jelas mengancam populasi orangutan. Sebab konflik orangutan di kebun kelapa sawit lebih tinggi dan rentan jika dibanding dengan fungsi kawasan. Kejadian ini muncul karena konversi habitat orangutan menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Karena konversi kawasan dilakukan tanpa perencanaan konservasi orangutan yang matang dan menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu sumber pakan orangutan," jelas dosen di Fakultas Kehutanan Unmul ini.
Karena itu ia menegaskan kondisi ini perlu dilakukan upaya serius konservasionis untuk mendorong dibuatnya perencanaan matang dalam membuka kawasan orangutan menjadi kawasan kebun sawit semata-mata bukan hanya untuk melindungi orangutan tapi memprediksi bahwa perusahaan akan mengalami kerugian dan kerusakan yang besar. Karena itu tindakan paling mudah dilakukan adalah memberantas orangutan. Seperti dicontohkan jika harga tanaman sawit di bawah setahun diasumsikan Rp20 ribu maka dalam sehari seekor orangutan di kebun kelapa sawit memberikan kerugian sebesar Rp600 hingga Rp1 juta. Karena orangutan dianggap sebagai hama tanaman. "Saat ini ancaman paling serius terhadap populasi orangutan Kaltim selain karena perburuan dan pembantaian. Juga adanya fragmentasi dan degradasi habitat orangutan yang terjadi secara umum di kepulauan Kalimantan. Habitat orangutan telah terfragmentasi ke dalam 32 kelompok habitat orangutan. Orangutan yang hidup di kawasan terfragmentasi terancam kelestarian populasi lebih tinggi dari pada orangutan yang hidup di kawasan utuh dan luas. Di sisi lain saat ini keberadaan orangutan hanya 20 persen saja yang hidup di kawasan hutan primer. Sedangkan 80 persen berada di kawasan hutan sekunder. Di kawasan hutan sekunder tingkat ancaman degradasi kawasan lebih besar sehingga ancaman keberadaan populasi orangutan juga lebih besar," jelas doktor ekologi dan konservasi satwa liar itu.
Jika dilihat dari keberadaan orangutan dan fungsi kawasannya maka hanya sekitar 25 persen saja orangutan hidup di kawasan konservasi. Sedangkan lebih dari 75 persen orangutan hidup di luar kawasan konservasi. Orangutan berada dalam hutan di luar kawasan fungsi konservasi kini sangat terancam akibat proses konversi kawasan tersebut menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan.
"Untuk populasi habitat orangutan di Kaltim berada di lanskap Kutai seluas 600 ribu hektare saat ini termasuk beberapa kawasan yakni perusahaan HTI, HPH, perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan Taman Nasional Kutai (TNK). Sesuai penelitian ground survey dilakukan sejak 2006 hingga saat ini telah berhasil membuat sekitar 74 Km transek dan mengobservasi 1.500 pohon sarang dan ditemukan 2.400 sarang orangutan. Hasil analisis sampling itu menyebutkan populasi orangutan di lanskap Kutai diprediksi tersisa 2.500-3.000 ekor orangutan. Hasil itu berdasarkan analisis penutupan kawasan hutan dan ground survey," katanya.
Tak hanya itu beberapa perusahaan di kelompok lanskap Kutai berada di kawasan Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Bontang yakni zona inti TNK sekitar 1.779 ekor orangutan, zona rimba TNK 298 ekor orangutan, PT Surya Hutani Jaya (SHJ) terdapat 100-150 ekor orangutan, Hutan Lindung Bontang 50 ekor orangutan, PT SHJ dengan konservasi Birawa terdapat 70 ekor orangutan, PT Porodisa, PT Kiani Lestari, reklamasi PT Kaltim Prima Coal di Pinang Dome sekitar 25 ekor orangutan, PT Sumalindo, PT IM dan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang dan lima perusahaan sawit terdapat sekitar 200 ekor orangutan.
Kemitraan itu dilakukan dengan komitmen dalam konservasi orangutan sebagai satwa di lindungi. Namun komitmen ini tak cukup tanpa dukungan pemerintah. Karena upaya penyelamatan dan relokasi orangutan perlu keahlian dan dukungan kebijakan. Jika menemukan orangutan terjebak di kawasan perkebunan kelapa sawit atau kawasan HTI dan pertambangan maka solusi untuk menyelamatkan orangutan diperlukan tindakan profesional dari tim rescue memiliki peralatan dan keahlian tersendiri. Hal ini menjadi kendala berbagai pihak karena proses penyelamatan perlu keahlian dan peralatan khusus.
Masalah lain muncul adalah orangutan di wilayah konsesi pengusahaan hutan ingin merelokasi ke habitat lebih baik. Upaya ini hanya menjadi impian belaka karena saat ini pusat rehabilitasi sudah tak sanggup menampung orangutan. Di sisi lain areal relokasi untuk orangutan liar pun tak tersedia. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen dan keinginan kuat ternyata tak cukup tanpa tersedia perencaaan kawasan relokasi dan kawasan konservasi untuk orangutan. Sehingga pada takaran praktis di lapangan konservasi orangutan menemui jalan buntu.
"Ancaman terhadap orangutan liar selain perburuan maka degradasi dan fregmentasi kawasan juga masih banyaknya orangutan liar berada di dalam kandang maupun di pusat rehabilitasi. Seperti di Samboja Lestari Kaltim terdapat 225 ekor orangutan sudah hampir 9 tahun tinggal dalam kandang. Kemudian di Nyarumenteng terdapat 600 ekor orangutan hidup dalam kandang. Saya khawatir terlalu lama orangutan di kandang akan terjadi penurunan sifat liar orangutan. Semakin lama orangutan di kandang maka tingkat stres semakin tinggi dan berpotensi hilang ingatan," ungkapnya.
Karena itu upaya melepasliarkan orangutan dari pusat rehabilitasi juga tak mudah dilakukan. Sebab banyak kasus terjadi untuk orangutan liar terlalu lama hidup dalam kandang ketika dilepasliarkan ke alam liar mereka justru memakan buah beracun. Kondisi itu dapat mengancam kehidupannya.
"Karena itu satu-satunya upaya harus ditempuh adalah dukungan dan bantuan pemerintah baik finansial maupun kebijakan. Sehingga orangutan bisa dilepaskan segera ke alam liar. Seperti menyediakan kawasan pelepasliaran orangutan melalui pemberian restorasi ekosistem perlu didukung dan pemerintah lebih arif. Jika tak membantu finansial maka diberikan kemudahan dalam proses perizinan dan birokrasi. Yang terjadi saat ini ironis lembaga konservasi ingin melepasliarkan orangutan justru diposisikan seperti perusahaan eksploitasi sumberdaya alam. Dari mekanisme rumit hingga biaya untuk memperoleh HPH restorasi yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Ini yang perlu dijadikan perhatian agar keinginan lembaga konservasi mendapat dukungan penuh dari pemerintah, minimal diberi kemudahan saja sudah cukup," harapnya.
Karena itu Yaya menawarkan solusi agar segera ditetapkan areal relokasi orangutan agar orangutan terjebak di kawasan industri ekspoitasi sumberdaya alam maupun di pusat rehabilitasi segera dilepasliarkan. Kemudian memberi perlindungan orangutan dalam habitatnya dan menjadi prioritas utama, perusahaan kebetulan berada di kawasan konsesinya adalah habitat orangutan perlu menyediakan areal konservasi di dalam areal konsesinya. Tentunya areal konservasi layak menjadi habitat orangutan bukan areal sisa seperti rawa dan kawasan yang tak memenuhi syarat dan ketentuan sebuah kawasan konservasi.
"Seperti kewajiban perusahaan menyiapkan 10 persen dari total luasan lahannya untuk dijadikan kawasan konservasi. Minimal perusahaan membuat koridor dalam konsesinya agar orangutan bisa bergerak dari habitat yang satu ke habitat lainnya. Perusahaan di dalamnya ada orangutan perlu dibantu pemerintah untuk meningkatkan kapasitasnya dalam menyelamatkan atau konservasi orangutan serta perusahaan memiliki komitmen harus dibantu. Jika terdapat perusahaan mengenyampingkan hal itu maka perlu diberi tindakan hukum tegas sesuai aturan dan ketentuan berlaku," tambahnya. (ca)

sumber: Koran Kaltim
sumber gambar disini

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah memberi komentar