Saturday, March 24, 2012

Mengantisipasi Ancaman Negara Gagal

Foto: www.foto.detik.com
Tulisan ini saya buat pertengahan tahun lalu. Untuk mengisi kekosongan, maka kesempatan ini saya posting di blog. Ini juga bagian dari recovery jangan sampai suatu saat data ini hilang dari laptop (semoga tidak). :D
Prolog
Pada akhir bulan juni 2011 dalam sebuah dokumen laporannya, Bank Dunia yang memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan disegani pada tahun 2025. Perkiraan ini lebih cepat 5 tahun
dari asumsi Bappenas. Seyogyanya Prediksi prediksi tersebut akan terwujud jika Indonesia sukses mengkonsolidasikan  demokrasinya pada pemilu tahun  2014. Setelah memperhatikan model kepemimpinan dan berbagai gejolak sosial serta penegakan hukum dalam negeri, maka impian 2025 tersebut sulit menjadi kenyataan bahkan sebaliknya label negara gagal menanti Indonesia.  Menurut M.T. Zen seorang guru besar ITB, sesungguhnya Indonesia memiliki semuanya untuk menjadi bangsa yang besar dan negara adidaya. Sayangnya semua modal positif itu dikelola secara keliru. Dalam kajian geopolitiknya, seharusnya Indonesia menguasai Asia Tenggara karena siapa yang menguasai Asia Tenggara maka ia akan menguasai Asia Timur.

Konsepsi Negara Gagal
Banyak konsepsi (kalau kita belum berani menyebutnya sebagai teori) tentang negara gagal. Salah satunya adalah konsep Weberian bahwa sebuah negara dikatakan gagal jika negara gagal memberi kedamaian dalam lingkungan domestik  dan tidak mampu memonopoli penggunaan kekerasan dalam wilayahnya. secara sederhana beberapa ahli memberikan deskripsi negara gagal dengan ciri-ciri: Tidak ada jaminan keamanan, Bahan pokok langka, Korupsi makin menggila, Konflik horizontal serta Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara. Ketika negara itu tidak dapat memenuhi perintah konstitusi maka negara itu disebut negara gagal atau minimal nyaris gagal.

Fund For Peace sebuah lembaga internasional menyusun indeks negara gagal (failed  states index) dengan 12 indicator yang diberi skala 1 – 10. Ke-12 indikator tersebut berkaitan erat dengan kondisi sosial dan politik dalam negeri sebuah negara. Semakin tinggi nilai skalanya, maka negara tersebut semakin mendekati kategori gagal bahkan runtuh.

Indonesia Hari Ini
Berdasarkan data yang dirilis oleh lembaga Fund For Peace, untuk tahun 2011 Indonesia berada pada urutan 64 paling mendekati kategori negara gagal dengan poin 81,6. Angka ini diperoleh dari sebuah analisis kualitatif terhadap kondisi factual Indonesia sebelum riak-riak partai pemerintah merebak. Sebenarnya angka ini berada pada zona yang kurang aman bahkan lebih dekat ke posisi negara hampir gagal yaitu Sudan yang pada awal bulan juli 2011 benar – benar melahirkan negara baru.

Posisi Indonesia yang genting tersebut sudah diprediksi juga oleh beberapa pejabat penyelenggara negara. La Ode Ida (wakil ketua DPD RI) dalam Rakyat merdeka Online 23 Maret 2011 mengatakan Indonesia nyaris menjadi negara gagal. Kepemimpinan nasional begitu lemah dalam mengelola negara. Senada dengan itu, Mahfud MD (ketua Mahkamah Konstitusi RI) menyatakan Indonesia terancam sebagai negara gagal dengan indicator – indicator sosial  politik dalam negeri belakangan (Primaironline.com tgl 18 Juni 2011). Kepemimpinan nasional yang rapuh berperan besar terhadap kecenderungan tersebut.

Negara tidak mampu lagi menggunakan kekuasaannya untuk memonopoli kekerasan dalam negeri. Kita lihat beberapa fakta dimana kekuasan hukum dan pengadilan tidak lagi mampu memaksa warga negara bahkan penyelenggara negara untuk tunduk pada hukum. Menteri kesehatan tidak mau melaksanakan perintah Mahkamah Agung untuk mengumumkan merek susu formula terkontaminasi bakteri E. Coli padahal itu adalah perintah kekuasaan kehakiman. Walikota Bogor menolak melaksanakan eksekusi Mahkamah Agung tentang GKI Taman Yasmin bahkan justru membuat kebijakan yang bertentangan dengan keputusan MA. Para koruptor yang sudah ditetapkan sebagai tersangka banyak yang lari keluar negeri dan mangkir dari panggilan penyidik dan negara melalui alatnya tidak mampu (atau tidak berani) memulangkan mereka ke Indonesia. Instruksi presiden yang seharusnya menjadi perhatian serius seluruh penyelenggara negara ternyata tidak terlaksana, menunjukkan bahwa Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak menjadi sentral kebijakan strategis bagi Kabinetnya dalam penyelenggaraan negara.

Warga negara tidak lagi merasa nyaman untuk beraktivitas di berbagai wilayah Indonesia. Hampir setiap hari di Jakarta (Ibu kota negara) terjadi tawuran yang disebabkan oleh masalah ekonomi sehingga setiap hari warga dihantui rasa takut akan kemungkinan tawuran di lingkungannya. Peraturan Daerah di beberapa kabupaten/kota membuat tidak nyaman/aman untuk bepergian di malam hari padahal di jaman ini banyak aktivitas warga yang harus dikerjakan malam hari. Konflik laten antar suku dan agama di berbagai daerah yang siap meletus kapan saja tidak mampu dikelola secara baik oleh negara membuat warga negara selalu was – was untuk berpergian di dalam wilayah negara ini. Di bidang penegakan HAM, tesis Socratez Yoman tentang pembersihan etnis Melanesia belum mampu dibantah oleh pemerintah Indonesia.

Panggung politik dan kekuasaan di negara ini juga sudah lebih sekedar sebagai komoditas entertainment yang bernilai jual parodi dari pada focus pada usaha kesejahteraan rakyat. Warisan dendam  akibat ketidakadilan masa lalu, pengkambinghitaman kelompok yang diyakini telah memperoleh kekayaan, status dan kekuasaan lewat stereotip dan retorika politik pemberantasan korupsi, penegakan hukum dan bahasa klise lainnya.

Setelah berefleksi terhadap kondisi Indonesia hari ini maka sedikit dari banyak fakta lain tersebut menghantar kita pada pemikiran bahwa sesungguhnya negara gagal Republik Indonesia telah ada di depan mata. Sekalipun bangsa lain melihat  bahwa Indonesia adalah model masa depan dunia tetapi sesungguhnya sangat rapuh. Pertumbuhan ekonomi 6,4 persen tidak dinikmati oleh lebih dari 85% penduduk Indonesia.

Harapan Masih Ada
Melepaskan diri dari ancaman negara gagal adalah hal yang mungkin, tetapi tidak ada yang bisa diharapkan dari model kepemimpinan negara hari ini yang sangat rapuh dan lamban.  Bank Dunia dan Bappenas dengan segala macam teorinya sebenarnya masih bisa menjadi acuan kita dalam mempertahankan negara ini menjadi negara kuat yang menguasai Asia Timur Raya. Walaupun prediksi tersebut bernilai paradoksal  terhadap kondisi rakyat kecil dan ekonomi mikro Indonesia.

Ketegasan sikap dan jiwa kenegarawan seorang Susilo Bambang Yudoyono menjadi penentu dalam  transformasi kepemimpinan negara secepatnya. Model kepemimpinan yang rapuh akibat koalisi gemuk dan banyaknya kepentingan komunal dalam kepemimpinan Presiden  Indonesia harus dijawab segera tanpa harus menunggu konsolidasi demokrasi 2014. Jika menunggu Konsolidasi demokrasi dalam pemilu 2014  dipastikan gagal karena momen itu hanya akan digunakan untuk saling balas dendam anta elit politik. Langkah tegas dan segera tersebut tidak hanya menyelamatkan Indonesia dari ancaman negara gagal tetapi juga akan menjadi warisan masa depan bagi Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah memberi komentar