Tuesday, March 6, 2012

Tiga Hari Merekonstruksi Persepsi Politik Pemuda Gereja


Catatan Pinggir Konsultasi Nasional Pemuda Gereja dan Politik
Mamasa, 27 – 29 Oktober 2011
Catatan ini saya buat sehari setelah saya kembali dari Mamasa, Sulawesi Barat dalam rangka
menghadiri Konsultasi Pemuda Gereja dan Politik yang diadakan oleh Departemen Pemuda dan Remaja PGI. Semoga masih up to date. gambar saya "kelolah" dari sini
I
Konsultasi nasional pemuda gereja seyogyanya adalah forum konsultatif pemuda gereja (PGI) tingkat nasional untuk mendalami/menggumuli masalah – masalah kontekstual di dalam dan di sekitar pemuda gereja itu sendiri. Agar lebih terfokus maka
core issue yang digumuli haruslah spesifik dan benar – benar menjadi kebutuhan. Oleh karena itu, selama 3 hari pemuda gereja dibawah koordinasi departemen pemuda dan remaja PGI berkumpul di Mamasa melakukan diskursus mendalam tentang relasi pemuda gereja dan politik. Isu ini menjadi seksi di tengah kegalauan warga gereja akibat tidak ada lagi politisi Kristen yang menonjol mempengaruhi arah perjalanan bangsa dewasa ini. Di awal kemerdekaan Indonesia, kita mempunyai tokoh – tokoh yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan. Dalam hal ini, Saya merasa wajib untuk mendahulukan nama Dr. J. leimena untuk menggambarkan eksistensi tokoh Kristen (kalau kita tidak menyebutnya sebagai politisi Kristen). Tentunya dengan tidak melupakan nama – nama lain seperti Amir Syarifuddin, TB. Simatupang, Sam Ratulangi, Latuharhary, Johannes, A.A Maramis, Tambunan, dan banyak lagi.
Dari judul acaranya yaitu konsultasi, maka seharusnya ada banyak ruang untuk saling mengeksplorasi tinjauan empirik masing – masing pemuda sinode akan hubungan pemuda gerejanya dengan politik. Namun justru yang terjadi lebih mengarah pada seminar/symposium. Memang yang dibahas dalam seminar – seminar ini bukan saja tentang bagaimana substansi relasi pemuda gereja dan politik tetapi juga pada aktivitas politik kontemporer dewasa ini (misalnya paket UU pemilu dibahas bukan dalam tinjauan format pemuda gereja mengadvokasinya tapi lebih sampai dimana pembahasannya sekarang ini). Tetapi bagi saya yang terpenting yang kita bisa dapatkan dari konsultasi ini adalah pemuda gereja sudah mulai berani keluar dari mindset lama yang menganggap politik itu adalah hal tabu untuk dibicarakan oleh warga (pemuda) gereja. Saya kira hampir di semua daerah Selama ini ‘menghukum’ GMKI karena persepsi tersebut. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dipandang sinis oleh pemuda gereja lainnya karena dalam aktifitasnya, GMKI kadang bersentuhan dengan dunia politik (walaupun itu pada tataran high level politic).
II
Tanpa bermaksud melakukan komparasi kuantitatif terhadap materi yang dipaparkan oleh para narasumber, saya mencoba menemukan benang biru antara sikap dan arah berpikir mereka termasuk juga memberi catatan – catatan kualitatif terhadap apa yang mereka paparkan.
Pdt. Untung Wijayaputra[1] dalam paparan yang disebutnya sebagai “pesan dari Salemba” mengatakan bahwa pikiran Dr. J. Leimena tentang kewarganegaraan yang bertanggungjawab adalah format kehadiran warga gereja dalam dunia politik. Tanggungjawab pemuda gereja untuk membangun Negara dan bangsa adalah wujud nyata dari imannya kepada Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu pemuda gereja seharusnya bukan sekedar berpartisipasi dalam politik tetapi justru menjadi pemain utama. Di sisi lain pimpinan gereja sebagai pemimpin umat harusnya hadir mencerahkan warganya dalam menghadapi peristiwa – peristiwa politik (misalnya pilkada atau pemilu) sekalipun secara pribadi tetap memiliki hak poltik untuk menentukan pilihan politiknya. Pada titik tertentu, -saya menggarisbawahi contoh yang disampaikan oleh Pdt. Untung pada kasus pilkada Sulbar- beliau bukannya mencerahkan masyarakat untuk memilih sesuai nuraninya tetapi mengarahkan untuk memilih calon tertentu berdasarkan analisa – analisa politiknya yang subjektif. Berkaitan dengan tanggungjawab pemuda dalam membangun Negara, Prof Dr. Andi Lolo[2] memberikan stressing pada apatisme dalam diri pemuda. Menurut beliau, pemuda gereja seharusnya tidak alergi dengan politik. Beliau sedikit membagi pengalamannya di tahun 50an bagaimana kekuatan GMKI, GSKI dengan 9 organisasi Kristen se-asas yang mengkaderkan tokoh – tokoh Kristen untuk mewarnai pembangunan bangsa dan Negara ini. Setidaknya ada 4 (empat) masalah pokok yang dihadapi pemuda Kristen untuk berkiprah di bidang politik yaitu: pertama: pemuda gereja tidak punya kepercayaan diri untuk menunjukkan kapasitasnya, kedua: ada apatisme dalam diri pemuda gereja memandang persoalan – persoalan bangsa, ketiga; kita (gereja) tidak mempersiapkan pemuda gereja untuk menguasai IPTEK, keempat: tantangan lingkungan eksternal yang semakin kompleks. Untuk menjawab masalah tersebut, Prof. Andi Lolo mengajukan pertanyaan mendasar yang menggelitik saya (dan mungkin seluruh civitas GMKI) yaitu: “apakah GMKI masih bisa menjadi tempat menggembleng pemuda seperti jaman kami dulu?”. Pertanyaan ini harus dijawab oleh GMKI dengan konsep kaderisasi berkelanjutan dan system promosi kader yang sitematis agar kehadiran pemuda gereja dalam semua sector kehidupan berbangsa bernegara bisa benar – benar menjadi garam dan terang. Memang berat, tetapi harus demikian. Melarang pendeta terjun ke dunia politik praktis (misalnya sebagai calon legislative) adalah kebijakan keliru gereja dalam menghadapi medan layanan politik, karena berpolitik adalah salah satu bentuk gereja (baca: pendeta) menjawab panggilan pelayanannya.
Pada session lain, Jerry Sumampouw[3] menyampaikan tiga faktor yang mempengaruhi pandangan warga gereja terhadap politik yaitu: (a) pembedaan secara tegas Negara dan gereja, (b) pengaruh pietisme barat, dan (c) Trauma politik otoritarian orde baru. Ketiganya sering membuat kita (pemuda gereja) ragu untuk melibatkan diri dalam kegiatan – kegiatan politik, Padahal semestinya, pelayanan kita kepada orang lain tidak kalah pentingnya dari pada pelayanan kepada Tuhan Allah. Sebagaimana disaksikan Lukas 4: 18 – 19 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”. Menyampaikan kabar baik yang dimaksudkan dapat dikerjakan dalam pemerintahan/dunia politik misalnya memperjuangkan anggaran untuk rakyat dll. Ray Rangkuti[4] memberikan pemahaman lengkap tentang pentingnya kaum muda dan masyarakat sipil lainnya memantau dan mengawasi kinerja penyelenggara Negara. Di era otonomi daerah, kekuasaan untuk melakukan korupsi juga telah terdistribusi ke daerah – daerah melalui kepala daerah dan kroninya. Bupati/walikota dan para kepala dinas serta anggota legislative di daerah berpotensi besar untuk melakukan korupsi karena mereka mempunyai akses terhadap keuangan Negara. Jika uang APBN/APBD dikorupsi oleh mereka maka yang dirugikan adalah warga Negara lainnya yang tidak punya akses terhadap uang tersebut. Oleh karena itu, partisipasi politik yang kita lakukan dalam mengawasi kinerja penyelenggara Negara adalah bentuk kerja kemanusiaan sebagai wujud cinta dan kasih kita kepada manusia – manusia lain yang menderita/termarginalkan.
Dalam sharing pengalaman pemuda/warga Kristen di eksekutif dan legislative (parlemen), maka Victor Pao’tonan, Pdt. Zakaria Sude dan Irrianus Rohi[5] membagi pengalaman masing – masing menurut konteks dan pergumulannya. Semua sampai pada kesimpulan yang sama bahwa perlu ada langkah strategis warga (pemuda) gereja dalam mempersiapkan politisi Kristen sekaligus desain komunikasi politisi Kristen yang sudah ada di dalam parlemen sehingga ada agenda bersama yang harus diselesaikan demi kepentingan umat.
III
Konsultasi pemuda gereja dan politik ini menghasilkan 2 rekomendasi pokok yaitu: Pertama: berisi pesan dan rekomendasi, ada beberapa poin rekomendasi yang harus ditindaklanjuti, diantaranya membangun dan memperkokoh kembali jejaring organisasi warga Kristen yang sudah ada. Secara eksternal menyampaikan beberapa seruan moral terhadap pemerintah dan DPR dalam menyelenggarakan Negara secara bertanggungjawab. kedua: strategi politik kaum muda gereja dengan merancang sebuah forum bersama lintas sinodal untuk membicarakan dan merencanakan promosi karir politik baik lokal maupun nasional. Awalnya forum ini diusulkan melembaga secara taktis diluar Departemeen pemuda dan remaja PGI, tetapi atas pertimbangan – pertimbangan peserta akhirnya formatnya dirubah.
IV
Mengakhiri catatan ini dengan sedikit evaluasi kritis, saya kira pesan firman dalam matius 25[6] dapat melandasi kajian relasi pemuda gereja dan politik. Yesus mempersonifikasikan dirinya sebagai orang lapar, haus, orang asing, tidak mempunyai pakaian, orang sakit, dan orang yang berada di dalam penjara. Dan bagi-Nya, segala sesuatu yang kita lakukan untuk salah seorang dari saudara-Nya yang paling hina tersebut, maka kita telah melakukannya untuk Dia. Jika kita sepakat bahwa yang dimaksud medang layanan dibidang politik adalah melakukan yang terbaik untuk kepentingan orang banyak, maka pesan firman ini sangat relevan. Selama ini, pikiran arus utama jika kita berbicara politik, maka langsung diasosiasikan dengan partai politik, transaksi pragmatis, kekuasaan, intrik negative bahkan korupsi. Saya kira pencerahan yang yang diberikan oleh Bapak Jerry Sumampouw tentang bagaimana seharusnya peran politik kita di bangsa ini cukup menjadi kawah candradimuka bagi inklusifnya pemuda gereja beraktifitas di dunia politik.
Tentang partisipasi pendeta dalam dunia politik praktis saya kira harus dipandang secara proporsional. Kehadiran langsung pendeta ini harus pula memikirkan pembinaan spiritual warganya yang berkecimpung di dunia politik. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ray Rangkuti bahwa siapapun yang punya akses ke keuangan Negara (menjadi politisi) berpeluang untuk melakukan tindakan korupsi. Pada kondisi inilah dibutuhkan kehadiran pendeta/pembimbing spiritual untuk terus memastikan bahwa warganya tidak jatuh ke dalam pencobaan. Membimbing spiritual dan integritas warga jemaat yang berkiprah di dunia politik untuk tetap pada jalur kebenaran adalah salah satu bentuk nyata pelayanan gereja di bidang politik. Jadi tanpa harus terlibat secara praktis, mereka sudah melakukan yang terbaik bagi bangsa dan Negara menurut porsinya. Kalau tidak demikian maka tidak ada lagi yang akan mengawal kualitas spiritual dan integritas politisi Kristen (warga gereja) kita.
Konsolidasi kekuatan warga (pemuda) gereja di parlemen adalah masalah tersendiri bagi perjuangan agenda – agenda komunal. Sedikit membandingkan dengan purnawarawan TNI, mereka mampu mengkonsolidasikan diri di bawah tanah untuk memperjuangkan RUU Penanganan Konflik Sosial karena mereka mempunyai agenda komunal yang seragam meskipun itu dikerjakan lintas partai. Artinya pada fase tertentu secara fungsional seharusnya warga gereja di parlemen berani melepaskan kepentingan partainya.
Pertemuan ini banyak memberi inspirasi dan motivasi bagi GMKI untuk memperbaiki pola kaderisasi dan promosi kadernya. Memang tidak semua pemuda sinode hadir dalam kegiatan konsultasi ini, tetapi tidak representatifnya pemuda sinode yang hadir[7] semoga benar – benar karena persoalan teknis, bukan karena persoalan ideologis membaca judul kegiatan ini.
Mamasa, 30 Oktober 2011
Supriadi Narno
[1] Pdt. Untung Wijayaputra adalah anggota MPH PGI yang juga menjabat Ketua PGIW Sulselbara
[2] Prof. Andi Lolo adalah guru besar sosiologi Universitas Hasanudin yang juga mantan Bupati Tana Toraja, sekarang sebagai salah satu pengurus sinode Gereja Toraja (GT)
[3] Jerry Sumampouw adalah aktivis pemantau pemilu yang juga sekarang menjabat Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI
[4] Ray Rangkuti adalah aktivis muda yang selalu mengadvokasi anggaran dan draf RUU yang merugikan hak – hak sipil warga negara
[5] Victor Pao’tonan adalah mantan wakil bupati Mamasa sekaligus anggota DPRD kabupaten Mamasa 2009 – 2014, Pdt. Sakaria Sude adalah Pendeta GTM yang pernah menjadi anggota DPRD Propinsi Sulbar, Irrianus Rohi adalah anggota DPRD Kupang 2009 – 2014.
[6] Matius 25 : 35 & 40, LAI Jakarta
[7] Konsultasi Nasional ini dihadiri oleh sekitar 7 dari total 88 sinode

2 comments:

  1. Bapa Narno...

    Meskipun sebagian besar dari tulisan ini adalah resume pertemuan itu, tapi tulisan ini memang penting untuk dipublikasi secara menyeluruh dan mungkin bisa lewat portal web GMKI.

    Sedikit berkomentar. Dalam sebuah seminar Politik Media yang kebetulan diadakan oleh fakultas saya, seorang pakar media (Indonesia) yang sekarang bekerja di Arizona State University, namanya Merlyna Lim mengatakan bahwa anak muda saat ini memang lagi galau, termasuk galau dengan politik. Dan ini kecenderungan global, termasuk di Indonesia.

    Merlyn mencontohkan di Amerika ketika Barack Obama menang, karena pemilihnya sebagian besar adalah dari pemilih pemula alias anak muda. Mengapa demikian? Sikap apatis dengan politik menjadi kecenderungan positif yang membuat 'pemula' itu tadi menjadi 'bingung politik'. Dan ketika dihadapkan dengan pilihan yang berbeda dengan arus utama (atau bisa jadi yang terlihat keren), anak muda juga langsung memilih saja. Tanpa mencerna dengan baik muatan kampanye/pernyataan politik (yang substantif) yang berguna bagi kemaslahatan banyak orang.

    Saya kira ini juga terjadi di Indonesia, termasuk anak muda Kristen (pemuda Gereja). Bukan saja apatis dengan politik tapi memang terjebak dalam "kebingungan politik".

    Ketika Bapa Narno, mengaitkan hal ini dengan GMKI. Saya justru semakin tertantang untuk membahasnya. Tapi, kembali lagi, "hari gini GMKI bicara politik", yang terjadi malah GMKI di cap sebagai organisasi politik lagi, seperti beberapa kasus di kota-kota yang ada cabang GMKI-nya.

    Hemat saya, tulisan ini bisa dipublikasikan secara baik lagi (tidak saja lewat blog). Sehingga bisa menjadi stimulan bagi anak muda Kristen, termasuk Anggota (biasa) GMKI yang masih 'bingung politik'. Dan tentu kita di GMKI membutuhkan aksi nyata untuk melaksanakan pendidikan politik bagi Anggota-Anggota. Minimal mereka bisa melakukan hal "yang politis", tidak harus "yang politik" (yang selalu diidentikkan dengan partai politik).

    UOUS

    ReplyDelete
  2. Terima kasih bapa sudah memberi masukan. Saya juga gelisah dengan kegamangan pemuda termasuk beberapa anggota GMKI menghadapi politik. Saya setuju kalimat kuncinya berada pada alinea terakhir komentar Bapa kecab diatas.

    Kalau tesis Merlyna Lim terkait keterpilihan Obama itu benar, maka terlalu berat tugas kita di Indonesia untuk mencerahkan sekitar 25% pemilih yang berusia muda. Mari kita terlebih dahulu mencerdaskan dan mencerahkan sekitar 1080 fungsionaris BPC GMKI/PP GMKI yang masih aktif sekarang. Agar 5 tahun ke depan mereka tidak lagi sekedar kelompok yang keluar dari mainstream karena gagah-gagahan dan rame-rame tetapi memang karena faktor ideologis untuk menata bangsa ini lebih baik.

    Tentang publikasi catatan ini memang penting agar menjadi diskursus bersama semua anggota.

    ReplyDelete

Terima kasih telah memberi komentar